Sekilas tentang Underground Economy, Kerahasiaan Nasabah Perbankan dan Penerimaan Pajak


Nasrudin Hoja adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga masa penaklukan bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."

Pada masa Timur Lenk, infrastruktur sangat rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun.  Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek- robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.

Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.

Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.
"Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nasrudin ?" bentak Timur Lenk. 

"Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Nasrudin dengan gaya pejabat.

"Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?" Timur Lenk lebih marah lagi. 

Nasrudin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."


Kita boleh tertawa dan menganggap lucu kisah di atas, tetapi sesungguhnya kisah tersebut juga merefleksikan suatu sikap pandangan orang kebanyakan bahwa tercapai atau tidaknya suatu target penerimaan pajak semata dilihat dari mampu atau tidak mampunya petugas pajak memenuhi target tersebut.  Kalaupun berhasil memenuhinya, masyarakat akan beranggapan bahwa wajar aja mencapai target penerimaan pajak,  karena kapasitas yang bisa dipajakinya kan begitu luas dan besar, tapi sebaliknya, kalau tidak mampu mencapai target penerimaan, maka tudingan dan pandangan sinis akan mengalir deras… tuh pantesan aja target penerimaan pajak nggak tercapai karena pasti dikorupsi oleh petugas pajaknya.


Pada kesempatan ini, saya akan mengajak kita semua berfikir dan menilai lebih adil tentang hal hal apa saja (diluar kapasitas individu maupun kelembagaan otoritas pajak) yang dapat menjadi kendala dalam efektivitas pemungutan pajak.

Fenomena Perpajakan Di Indonesia

Agar dapat memahami masalah perpajakan di Indonesia, kita  perlu melihat struktur perpajakan dari berbagai indikator. Jika dilihat dari tax ratio, yaitu perbandingan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan pajak cenderung stagnan dan kenaikannya bersifat inkremental. (V Tanzi, D Brautigam, OH Fjeldstad, M Moore).  Berikut ini  perbandingan penerimaan pajak dan jenis pajak terhadap produk domestik bruto (dalam milyar rupiah):
*) angka tax ratio

Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun  2012 
Rasio pajak Indonesia masih berkisar 12% terhadap PDB. Rasio ini termasuk dalam kategori rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara lain.  Indonesia kini termasuk dalam kategori negara pendapatan menengah bawah (lower middle income) dan rata-rata rasio pajak pada negara adalah sebesar 19%. (V Tanzi, D Brautigam, OH Fjeldstad, M Moore).

Berikut tabel rata-rata rasio pajak:
Rasio Pajak Indonesia
Rasio ini jelas masih relatif rendah jika dibandingkan dengan rata-rata dunia ataupun negara-negara OECD (keduanya sekitar 14%). Terlepas dari berkembangnya diskusi tentang bagaimana cara perhitungan tax ratio tersebut, namun pada kondisi di Indonesia masih dapat dianggap dalam kondisi undertaxing. Lebih lanjut lagi, struktur penerimaan pajak di Indonesia masih banyak ditopang oleh Pajak Penghasilan, terutama Pajak Penghasilan Badan.  Pada tahun 2010 saja, penerimaan Pajak Penghasilan Badan memberikan kontribusi sekitar 45% dari total penerimaan pajak, jauh di atas penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang hanya sekitar 12%. Struktur ini jauh berbeda jika diperbandingkan dengan rata-rata rasio Pajak Penghasilan pribadi terhadap badan di negara-negara OECD, yang sebesar 5:1 (artinya, Pajak Penghasilan pribadi memiliki jumlah sebesar kurang lebih lima kali lipat dari Pajak Penghasilan badan). (B. Bawono Kristiaji, Toni Febriyanto, dan Yanuar F. Abiyunus).

Negara berkembang umumnya belum memiliki sistem administrasi perpajakan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya tax gap, yaitu selisih antara kewajiban pajak yang seharusnya dengan pajak yang dibayar. Tax gap dibedakan menjadi tiga: non-filing gap yaitu tax gap yang terjadi karena pajak yang terutang tidak dibayar dan wajib pajak tidak menyampaikan SPT, underreporting gap yaitu pajak yang dilaporkan dalam SPT dan berada di bawah yang seharusnya, underpayment gap yaitu potensi pajak yang hilang akibat wajib pajak menyampaikan SPT tetapi tidak membayar pajak yang seharusnya terutang. Berdasarkan kalkulasi IMF, kapasitas penerimaan pajak Indonesia kini hanya mendekati 60%. Artinya, potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai 40% atau sekitar Rp 413 triliun pada tahun 2012. Padahal IMF dikenal sebagai lembaga yang konservatif, yang artinya kalkulasi dari potensi ini pun kemungkinan masih minimal. Contoh paling tepat adalah porsi sektor informal dan ekonomi bawah tanah (underground economy) yang masih besar. Porsi sektor ini diperkirakan 30-40% dari PDB (setara Rp 2.750 trilyun). Jika perhitungan potensi didekati menggunakan tarif efektif 7,5% saja, potensi pajak adalah Rp 206 triliun/tahun. Potensi PPN sektor ini dengan menggunakan tarif efektif 3% adalah Rp 82 triliun/tahun. ( V Tanzi, D Brautigam, OH Fjeldstad, M Moore).

Underground Economy

Indikator di atas menunjukan adanya masalah yang sangat besar dalam pemungutan pajak dan kepatuhan pajak juga masih sangat lemah, karena masih banyaknya sektor-sektor yang sulit untuk dipajaki misalnya blackmarket, UKM, dan sebagainya, belum lagi sektor underground yang sifat nya illegal namun jelas punya kontribusi yang tidak kecil terhadap PDB misalnya illegal logging, illegal fishing, peredaran narkoba, human trafficking, prostitusi dan lain lain.   Apakah  adil untuk mememberikan penilaian bahwa otoritas pajak adalah entitas yang paling tidak efektif  ketika sector underground tersebut sulit untuk di pajaki?  Tentu tidak, bagaimana mungkin mau berjalan efektif kalau penegakan hukum dari lembaga lain yang berwenang juga tidak berjalan efektif. Apabila masalah penegakan hukum tersebut dapat dibenahi dengan baik maka potensi penerimaan pajak di Indonesia dapat meningkat.

Di banyak negara, komponen terbesar dari total tax gap berasal dari aktivitas underground economy / shadow economy. Banyak di antara para individu dalam aktivitas underground economy / shadow economy ini yang tidak terdaftar sebagai Wajib Pajak sehingga memperlebar jarak antara jumlah Wajib Pajak yang terdaftar dan yang potensial terdaftar.  Di samping itu, beberapa analis kebijakan publik berpendapat bahwa keberadaan aktivitas underground economy/shadow economy ini berdampak signifikan pada perekonomian suatu negara, tingkat penerimaan pajak di negara tersebut, efisiensi dalam alokasi penerimaan dan distribusi penghasilan. (Ganda Christian Tobing).

Fenomena underground economy / shadow economy telah menarik perhatian para akademisi dan organisasi internasional sejak tahun 1970-an. Beberapa terminologi yang sering dipersamakan dengan shadow economy adalah underground economy, informal economy, parallel economy, black economy, hidden economy, irregular economy, second economy, unobserved economy, unofficial economy atau juga cash economy.  (Ganda Christian Tobing).

Menurut Schneider dan Enste dalam Ganda Christian Tobing underground economy / shadow economy dapat diartikan sebagai semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap perhitungan Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto tetapi aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar.Organisation for Economic Cooperation and Development(OECD) menggunakan istilah non-observed economy untuk menjelaskan fenomena ini, dan membaginya ke dalam empat jenis aktivitas, yaitu:
  1. Produksi bawah tanah (underground production); aktivitas produktif yang bersifat legal, tetapi sengaja disembunyikan dari otoritas publik dengan tujuan mengelak dari pajak dan peraturan lainnya.
  2. Produksi ilegal (illegal production); aktivitas produktif yang menghasilkan dan jasa yang dilarang oleh hukum.
  3. Produksi sektor informal (informal sector production); aktivitas produktif yang legal yang menghasilkan barang dan jasa dalam skala produksi kecil yang umumnya dilakukan oleh usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum.
  4. Produksi rumah tangga untuk digunakan sendiri (production of households for own final use). Sedangkan Mirus dan Smith membedakan tipe underground economy / shadow economy berdasarkan karakter hukumnya yaitu, legal atau ilegal.

Sebuah penelitian  pernah dilakukan di Indonesia oleh Kuntarto Purnomo (2010) dan didapatkan bahwa besarnya underground economy di Indonesia periode 2000 – 2009 rata-rata mencapai Rp 151,79 Triliun – Rp 152,39 Triliun setiap tahunnya, atau sebesar 5,06 % – 5,08 % dari PDB. Didapatkan juga bahwa potensi pajak atas aktivitas underground economy di Indonesia periode tahun 2000 – 2009 rata-rata mencapai Rp 18,88 Triliun – Rp 18,96 Triliun per tahun atau sekitar 0,62 % - 0,63 % dari PDB dan setiap kenaikan 1% tarif pajak rata-rata, akan meningkatkan besaran underground economy di Indonesia sebesar 1,08 %.

Aktivitas underground economy / shadow economy akan berdampak pada kecenderungan otoritas pajak untuk mengeksploitasi zona yang pasti dan aman, yaitu sector formal semata, sehingga anggapan sebagian masyarakat bahwa sistem pemajakan itu lebih diarahkan seperti strategi berburu di kebun binatang mungkin tidak sepenuhnya salah. Padahal disisi lain, skema penghindaran pajak pada sector formal juga tidak sepenuhnya  mampu ditutup, apalagi yang dilakukan oleh Multi National Enterpirse (MNE) melalui skema penghindaran pajak mulai dari Control Foreign Company, Thin Capitalization, Treaty Shopping, Abuse Transfer Pricing dan lain lain.  Tapi ini bukan topic yang akan di bahas kali ini.  

Meningkatkan penerimaan pajak dari aktivitas underground economy / shadow economy menjadi perhatian besar otoritas pajak di banyak negara berkembang, hal ini sebuah merupakan tantangan Barrie Russell dalam Ganda Christian Tobing. Tantangan yang dihadapi oleh otoritas pajak adalah sebagai berikut (OECD,“Reducing Opportunities for Tax Non-Compliance in the Underground Economy”) :
  1. Sifat dari aktivitas underground economy yang tersebar dan tersembunyi membuat individu yang terlibat di dalamnya sulit untuk terdeteksi.
  2. Kesulitan dalam mengidentifikasi target penerimaan dari aktivitas ini.
  3. Individu yang terlibat dalam aktivitas underground economy ini tidak memiliki pembukuan  maupun pencatatan yang cukup memadai.
  4. Meskipun individu dalam aktivitas underground economy terdeteksi, namun terdapat  kesulitan dalam memastikan jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan oleh mereka.
  5. Meskipun jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan dapat ditetapkan, namun terdapat kesulitan dalam mengumpulkan pajak yang harus dibayar, dan sanksi administrasi lainnya.
  6. Mengatasi ketidakpatuhan pada underground economy tidak memberikan jaminan  ketidakpatuhan tersebut tidak terulang lagi.
  7. Wajib Pajak patuh yang merasa bahwa underground economy tidak ditangani dengan benar oleh otoritas pajak dapat merespon tindakan tersebut dengan menjadi kurang patuh.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, otoritas pajak disarankan untuk mengembangkan strategi kepatuhan yang terintegrasi yang berfokus kepada penelitian terhadap penyebab ketidakpatuhan meningkatkan kegiatan asistensi, mendorong kepatuhan individu yang terlibat aktivitas shadow economy serta penegakan hukum terhadap individu yang tidak patuh. (Ganda Christian Tobing).

Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh otoritas pajak adalah sebagai berikut:
  1. Melakukan Penelitian terhadap area-area pada aktivitas underground economy
  2. Berkerjasama dengan institusi pemerintahan lainnya.
  3. Mereduksi risiko ketidakpatuhan pada aktivitas underground economy
Untuk mereduksi risiko ketidakpatuhan pada aktivitas underground economy, maka dibutuhkan proses pengidentifikasian risiko. Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mereduksi ketidakpatuhan pada aktivitas underground economy / shadow economy diantaranya adalah:
  • Kewajiban penggunaan register kas pada aktivitas aktivitas berbagai sektor di bidang perdagangan maupun usaha jasa perorangan yang umumnya menggunakan instrumen pembayaran tunai. Dengan begitu, otoritas pajak dapat memverifikasi kebenaran jumlah peredaran usaha dari usaha perdagangan tersebut.
  • Perluasan penggunaan data pihak ketiga untuk dibandingkan dengan data perpajakan. Misalnya, penggunaan data dari perusahaan real estate, transaksi kartu kredit maupun PayPal, data rekening bank dan lain-lain. 
  • Mengatur standar pembukuan bagi usaha kecil.
  • Program edukasi dan asistensi kepada individu-individu dalam underground economy untuk membantu mereka mematuhi kewajiban mereka serta mensosialisasikan biaya sosial dan risiko yang berkaitan dengan ketidakpatuhan pajak.


Langkah yang jauh lebih penting adalah adanya kemauan politis dari pengambil kebijakan di negara ini untuk melakukan upaya penegakan hukum semaksimal mungkin, dengan cara mengeliminir sector underground economy khususnya yang sifat nya illegal.  Adanya keleluasan akses data nasabah perbankan untuk kepentingan pajak dan adanya pemidanaan yang lebih luas untuk kasus kasus tindak pidana pencucian uang perlu diterapkan, termasuk dalam kasus penggelapan pajak dimana akan secara otomatis mengurangi peranan underground economy terhadap PDB, sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak sekaligus pula besaran rasio pajak.

Penguatan Kelembagaan Pajak

            Banyak orang mengatakan mestinya otoritas pajak di Indonesia  dibangun dengan mengadopsi sistem kelembagaan yang diterapkan oleh negara- negara maju, agar otoritas pajak di Indonesia bisa menjadi lebih professional.  Mungkin ungkapan tersebut lebih bernuansa sikap sinis dan skeptis daripada pandangan objektif dengan membandingkan sistem perpajakan di Indonesia dan di negara negara maju.   Pada kesempatan ini saya ingin bercerita tentang pengalaman sederhana ketika saya melihat film dengan judul taxing women  yang di perlihatkan di National Tax College (NTC) di Tokyo Jepang.  Jika film tersebut di perlihatkan oleh lembaga resmi NTC, maka saya berkeyakinan bahwa memang seperti itulah efektivitas peran otoritas pajak di Jepang. Diceritakan tentang seorang agen wanita petugas pajak yang dapat melakukan penyamaran, melakukan penyadapan, punya akses membuka rekening nasabah perbankan (bukan hanya dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan namun juga dalam rangka pengawasan dan exchange of information dengan negara lain) dan yang terpenting melakukan penangkapan dalam rangka penyidikan tindak pidana perpajakan.  Belakangan saya temukan bahwa kewenangan tersebut memang dimiliki oleh otoritas pajak bukan saja di Jepang tetapi juga oleh seluruh negara negara anggota OECD.

            Lantas bagaimana dengan kewenangan otoritas pajak di Indonesia? otoritas pajak di Indonesia berwenang untuk memeriksa Wajib Pajak karena untuk menguji kepatuhan atau karena untuk tujuan lain, selain itu otoritas pajak pajak di Indonesia juga berwenang melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan, namun harus di ingat, otoritas pajak di Indonesia tidak punya kewenangan untuk menangkap terduga tindak pidana perpajakan.  Sehingga dalam banyak kasus penyidikan tindak pidana perpajakan tidak berjalan efektif karena tersangka nya kabur atau tidak jelas keberadaannya.  Selama ini pun kewenangan tersebut lebih banyak digunakan untuk pemidanaan kasus kasus penyalahgunaan faktur pajak (PPN). 

Selain upaya law enforcement, ada upaya lain yang cukup penting yang dilakukan otoritas pajak yaitu melalui upaya konseling.  Kenapa hal ini saya katakan cukup penting? karena upaya konseling ini ada target penerimaannya dan jumlahnya bisa lebih besar dari target pemeriksaan dan penyidikan pajak.  Jika dapat saya analogikan, upaya konseling petugas pajak terhadap Wajib Pajak ini terkadang  seperti konseling dari petugas kesehatan terhadap para perokok, sekalipun petugas kesehatan membawa data statistik dan uji ilmiah yang begitu banyak, tapi akan sangat sulit meyakinkan para perokok untuk berhenti merokok.  Pada titik ini, mungkin yang dibutuhkan adalah fatwa haram merokok dan regulasi dimana bukan hanya area tertentu harus dibebaskan dari perokok tetapi juga pada kota tertentu harus bebas dari para perokok. Maksud saya adalah, ketika Wajib Pajak sulit untuk dilakukan konseling, maka pada saat yang sama diberikan ruang yang cukup besar untuk Wajib Pajak tersebut untuk dilakukan  audit atau  penyidikan.  Sehingga pemeriksaan pajak tidak hanya terjebak pada pemeriksaan yang rutin lebih bayar atau rugi, demikian juga penyidikan pajak tidak semata pada penyalahgunaan faktur pajak tapi secara lebih jauh dapat juga menjangkau kasus kasus pidana pajak yang lain misalnya memidanakan seseorang yang tidak ber NPWP padahal sudah jelas punya penghasilan yang cukup.

Lantas bagaimana dengan kewenangan otoritas pajak untuk melakukan akses data nasabah perbankan?

Rahasia bank merupakan topik menarik untuk dibicarakan karena keberadaannya ada dalam area  antara “tugasnya” dalam melindungi nasabah dan dihadapkannya “tugas” tersebut dengan kepentingan diluar bidang perbankan, yaitu perpajakan.  Ketentuan mengenai kerahasiaan bank menjaga informasi nasabah memiliki konsekuensi bahwa bank dapat saja dengan sengaja menyembunyikan keadaan keuangan nasabah baik perseorangan atau perusahaan yang sedang menjadi sorotan khususnya dalam hal kepatuhan pajak. Bagaimana ketentuan tentang kerahasiaan bank di Indonesia, dalam hal menunjang upaya penegakan kepatuhan pajak? apakah ketentuan tersebut membuka akses dalam menjawab tuntutan ketentuan perpajakan, sehingga adanya dukungan penegakan hukum dibidang perpajakan tersebut? Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 10 / 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 / 1992 tentang Perbankan.

Ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia diatur dalam pasal 40 ayat 1 dan 2 UU No. 10 /1998. Namun sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang  dimaksud dengan rahasia bank menurut undang-undang tersebut. Pasal 1 butir 28 menyebutkan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Pasal 41 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Ketentuan ini kemudian terjabar dalam peraturan pelaksana yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Menurut PBI tersebut untuk melakukan penerobosan rahasia bank demi kepentingan perpajakan terlebih dahulu harus diperoleh izin atau perintah tertulis untuk membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Permintaan penerobosan rahasia bank tersebut harus disertai tanda tangan dengan membubuhkan tanda tangan basah dari Menteri Keuangan. PimpinanbBank Indonesia mengeluarkan perintah tersebut kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Ada 5 hal yang harus tercantum didalam permohonan tertulis kepada bank untuk dapat dilakukan penerobosan rahasia bank, dalam Chandra Dewi Puspitasari  yaitu :
  1. Nama pejabat pajak;
  2. Nama nasabah penyimpan, Wajib Pajak yang dikehendaki keterangannya;
  3. Nama kantor bank tempat nasabah mempunyai simpanan;
  4. Keterangan yang diminta;
  5. Alasan diperlukannya keterangan.
Atas adanya permintaan tertulis yang disampaikan kepada bank melahirkan kewajiban bagi bank untuk melaksanakan perintah Pimpinan Bank Indonesia tersebut. Bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia. Bank hanya dapat memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, memperlihatkan bukti-bukti tertulis, surat-surat, dan hasil cetak data elektronis tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis yang disampaikan kepada bank tersebut.

Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perbankan tersebut maupun dalam Peraturan bank Indonesia pada prinsipnya sejalan dengan apa yang menjadi tuntutan Undang-Undang No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa atau disidik, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta (pasal 35 ayat 1). Dalam hal pihak-pihak tersebut terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank kewajiban merahasiakan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri Keuangan (pasal 35 ayat 2).

Dari uraian di atas jelas bahwa penerobosan kerahasiaan nasabah perbankan untuk kepentingan pajak di Indonesia semata hanya dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan pajak, itupun juga melalui tahapan berjenjang yang tidak mudah.  

Lantas bagaimana dengan praktek penerobosan kerahasiaan Wajib Pajak di negara negara lain khususnya di negara negara anggota OECD?   Ternyata pada perkembangan terkini di negara negara lain, bahkan negara negara yang selama ini dikenal sangat ketat melindungi kerahasiaan nasabah penyimpan nya seperti  Swiss dan negara lain yang di kenal sebagai Tax Haven Country, bersedia membuka rahasia nasabah penyimpan nya bukan hanya dalam rangka pemeriksaan pajak namun juga dalam rangka exchange of information (EOI) antar negara mitra.   

Kenapa negara negara tersebut pada akhir nya bersedia memberikan akses pada kerahasiaan nasabahnya? Karena dinamika yang berkembang pada saat ini negara negara di dunia telah bersepakat untuk membatasi muncul nya fenomena harmful tax competition.  Sehingga amandemen Undang Undang ketentuan Umum Perpajakan dan Undang Undang Perbankan menjadi sebuah keniscayaan  untuk membuka akses rahasia nasabah perbankan bukan hanya dalam rangka pemeriksaan pajak namun juga dalam rangka pengamanan penerimaan negara,  jika kita tidak menyiapkan perangkat regulasi untuk memenuhi kepentingan akses informasi kerahasiaan nasabah perbankan maka konsekuensi yang akan timbul adalah otoritas pajak akan kesulitan menyiapkan informasi Wajib Pajak dalam rangka exchange of information (EOI) dengan negara mitra P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), jika kita tidak mampu memenuhi permintaan dalam rangka EOI tersebut, maka akan sangat mungkin kita akan di anggap oleh negara mitra P3B sebagai negara yang melakukan harmful tax competition.  Singkatnya, dinamika terkini menunjukan bahwa bukan merupakan sebuah keuntungan bagi sebuah negara untuk memberikan perlindungan kerahasiaan nasabah secara berlebihan, khusus nya terkait dengan pajak, karena justru tidak menarik bagi investasi, karena melawan arus pemikiran global.  

Dari paparan di atas, jelas bahwa permasalahan tentang pencapaian target penerimaan pajak dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak bukan semata permasalahan pada ranah administrasi semata, namun butuh terobosan politik untuk memperkuat fungsi kelembagaan otoritas pajak.  Kita bukan hanya butuh jumlah pegawai pajak yang lebih banyak, bukan semata perlu penguatan dalam hal kompetensi dan profesionalisme serta integritas pegawai pajak, namun secara lebih jauh, kita juga butuh keberpihakan semua pihak tentang betapa penting nya peranan pajak sehingga perlu penguatan yang lebih besar termasuk dalam akses informasi data nasabah perbankan untuk kepentingan pengamanan penerimaan pajak serta perlu nya kewenangan penangkapan sebagai perangkat pelengkap dari fungsi law enforcement (penyidikan pidana pajak). 

Konon, Thomas Jefferson yang dikenal sebagai bapak konstitusi Amerika Serikat pernah berkata, bahwa pilar dari eksistensi negara demokrasi Amerika Serikat adalah pajak dan cukai, beliau telah menyampaikan hal tersebut lebih dari 300 tahun yang lalu, sehingga sudah menjadi tradisi di Amerika Serikat bahwa dalam pelaksanaan  pemilu legislatif dan pemilu presiden, isu perpajakan selalu menjadi elemen dari rencana kebijakan publik yang ditawarkan oleh setiap kontestan, tentu nya hal ini sangat masuk akal, memang nya kalau seorang calon legislator atau  seorang calon pemimpin eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden) menawarkan rencana kebijakan publik dengan janji menyiapkan berbagai fasilitas barang publik dan jasa publik, lantas uang nya dari mana kalau bukan uang pajak? Sehingga sangat tidak masuk akal kalau mereka juga tidak menawarkan solusi bagaimana penerimaan pajak tersebut akan dipungut.

(Widi Widodo, sebagai pendapat pribadi)

Artikel Terkait : Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak

About Catatan Ekstens

Catatan Ekstens adalah blog pajak yang menjadi media kami dalam memperbarui pengetahuan perpajakan. Anggap saja setiap postingan pada blog ini sebagai catatan kami. Selengkapnya bisa cek "About" di bagian atas blog ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya