Pada masa Timur Lenk, infrastruktur sangat rusak,
sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak
memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka
datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-
robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu
memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.
Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah
dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak
yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia
menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil
dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.
Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa
roti hangat.
"Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu,
Nasrudin ?" bentak Timur Lenk.
"Laporan keuangan saya catat pada roti
ini, Paduka," jawab Nasrudin dengan gaya pejabat.
"Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?" Timur Lenk lebih marah lagi.
"Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?" Timur Lenk lebih marah lagi.
Nasrudin menjawab takzim, "Paduka, usiaku
sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi
semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."
Kita boleh tertawa dan menganggap lucu kisah di
atas, tetapi sesungguhnya kisah tersebut juga merefleksikan suatu sikap
pandangan orang kebanyakan bahwa tercapai atau tidaknya suatu target
penerimaan pajak semata dilihat dari mampu atau tidak mampunya petugas pajak
memenuhi target tersebut. Kalaupun
berhasil memenuhinya, masyarakat akan beranggapan bahwa wajar aja mencapai
target penerimaan pajak, karena
kapasitas yang bisa dipajakinya kan begitu luas dan besar, tapi sebaliknya,
kalau tidak mampu mencapai target penerimaan, maka tudingan dan pandangan sinis
akan mengalir deras… tuh pantesan aja target penerimaan pajak nggak tercapai
karena pasti dikorupsi oleh petugas pajaknya.
Pada kesempatan ini, saya akan mengajak kita semua
berfikir dan menilai lebih adil tentang hal hal apa saja (diluar kapasitas
individu maupun kelembagaan otoritas pajak) yang dapat menjadi kendala dalam
efektivitas pemungutan pajak.
Fenomena Perpajakan Di Indonesia
Agar
dapat memahami masalah perpajakan di Indonesia, kita perlu melihat struktur perpajakan
dari berbagai indikator. Jika dilihat dari tax ratio, yaitu perbandingan
antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan pajak cenderung
stagnan dan kenaikannya bersifat inkremental. (V Tanzi, D Brautigam, OH
Fjeldstad, M Moore). Berikut ini perbandingan penerimaan
pajak dan jenis pajak terhadap produk domestik bruto (dalam milyar rupiah):
*) angka tax ratio
Sumber:
Kementerian Keuangan, Tahun 2012
|
Rasio
pajak Indonesia masih berkisar 12% terhadap PDB. Rasio ini termasuk dalam
kategori rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia
kini termasuk dalam kategori negara pendapatan menengah bawah (lower middle
income) dan rata-rata rasio pajak pada negara adalah sebesar 19%. (V Tanzi, D Brautigam, OH
Fjeldstad, M Moore).
Berikut tabel rata-rata
rasio pajak:
Rasio Pajak Indonesia |
Rasio ini jelas masih
relatif rendah jika dibandingkan dengan rata-rata dunia ataupun negara-negara
OECD (keduanya sekitar 14%). Terlepas dari berkembangnya diskusi tentang
bagaimana cara perhitungan tax ratio tersebut, namun pada kondisi di Indonesia
masih dapat dianggap dalam kondisi undertaxing. Lebih lanjut lagi,
struktur penerimaan pajak di Indonesia masih banyak ditopang oleh Pajak
Penghasilan, terutama Pajak Penghasilan Badan. Pada tahun 2010 saja, penerimaan Pajak
Penghasilan Badan memberikan kontribusi sekitar 45% dari total penerimaan
pajak, jauh di atas penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang hanya
sekitar 12%. Struktur ini jauh berbeda jika diperbandingkan dengan rata-rata
rasio Pajak Penghasilan pribadi terhadap badan di negara-negara OECD, yang
sebesar 5:1 (artinya, Pajak Penghasilan pribadi memiliki jumlah sebesar kurang
lebih lima kali lipat dari Pajak Penghasilan badan). (B. Bawono Kristiaji, Toni
Febriyanto, dan Yanuar F. Abiyunus).
Negara berkembang
umumnya belum memiliki sistem administrasi perpajakan yang baik. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya tax gap, yaitu selisih antara kewajiban pajak yang
seharusnya dengan pajak yang dibayar. Tax gap dibedakan menjadi tiga: non-filing gap yaitu tax gap yang terjadi karena pajak yang
terutang tidak dibayar dan wajib pajak tidak menyampaikan SPT, underreporting gap yaitu pajak yang
dilaporkan dalam SPT dan berada di bawah yang seharusnya, underpayment gap yaitu potensi pajak yang hilang akibat wajib
pajak menyampaikan SPT tetapi tidak membayar pajak yang seharusnya terutang.
Berdasarkan kalkulasi IMF, kapasitas penerimaan pajak Indonesia kini hanya
mendekati 60%. Artinya, potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai 40% atau
sekitar Rp 413 triliun pada tahun 2012. Padahal IMF dikenal sebagai lembaga
yang konservatif, yang artinya kalkulasi dari potensi ini pun kemungkinan masih
minimal. Contoh paling tepat adalah porsi sektor informal dan ekonomi bawah
tanah (underground economy) yang
masih besar. Porsi sektor ini diperkirakan 30-40% dari PDB (setara Rp 2.750
trilyun). Jika perhitungan potensi didekati menggunakan tarif efektif 7,5%
saja, potensi pajak adalah Rp 206 triliun/tahun. Potensi PPN sektor ini dengan menggunakan tarif
efektif 3% adalah Rp 82 triliun/tahun. ( V Tanzi, D Brautigam, OH Fjeldstad, M
Moore).
Underground Economy
Indikator di atas
menunjukan adanya masalah yang sangat besar dalam pemungutan pajak dan
kepatuhan pajak juga masih sangat lemah, karena masih banyaknya sektor-sektor
yang sulit untuk dipajaki misalnya blackmarket, UKM, dan sebagainya, belum
lagi sektor underground yang sifat nya illegal namun jelas punya kontribusi
yang tidak kecil terhadap PDB misalnya illegal logging, illegal fishing,
peredaran narkoba, human trafficking, prostitusi dan lain lain. Apakah
adil untuk mememberikan penilaian bahwa otoritas pajak adalah entitas
yang paling tidak efektif ketika sector
underground tersebut sulit untuk di pajaki?
Tentu tidak, bagaimana mungkin mau berjalan efektif kalau penegakan
hukum dari lembaga lain yang berwenang juga tidak berjalan efektif. Apabila
masalah penegakan hukum tersebut dapat dibenahi dengan baik maka potensi
penerimaan pajak di Indonesia dapat meningkat.
Di banyak negara,
komponen terbesar dari total tax gap berasal
dari aktivitas underground economy /
shadow economy. Banyak di antara para individu dalam aktivitas underground economy / shadow economy ini
yang tidak terdaftar sebagai Wajib Pajak sehingga memperlebar jarak antara
jumlah Wajib Pajak yang terdaftar dan yang potensial terdaftar. Di samping itu, beberapa analis kebijakan
publik berpendapat bahwa keberadaan aktivitas underground economy/shadow economy ini berdampak signifikan pada
perekonomian suatu negara, tingkat penerimaan pajak di negara tersebut,
efisiensi dalam alokasi penerimaan dan distribusi penghasilan. (Ganda Christian
Tobing).
Fenomena
underground economy / shadow economy telah menarik perhatian
para akademisi dan organisasi internasional sejak tahun 1970-an. Beberapa
terminologi yang sering dipersamakan dengan shadow
economy adalah underground economy,
informal economy, parallel economy, black economy, hidden economy, irregular
economy, second economy, unobserved economy, unofficial economy atau juga cash
economy. (Ganda Christian Tobing).
Menurut
Schneider dan Enste dalam Ganda Christian Tobing underground economy / shadow
economy dapat diartikan sebagai semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi
terhadap perhitungan Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto tetapi
aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar.Organisation for Economic Cooperation and Development(OECD)
menggunakan istilah non-observed economy
untuk menjelaskan fenomena ini, dan membaginya ke dalam empat jenis aktivitas,
yaitu:
- Produksi bawah tanah (underground production); aktivitas produktif yang bersifat legal, tetapi sengaja disembunyikan dari otoritas publik dengan tujuan mengelak dari pajak dan peraturan lainnya.
- Produksi ilegal (illegal production); aktivitas produktif yang menghasilkan dan jasa yang dilarang oleh hukum.
- Produksi sektor informal (informal sector production); aktivitas produktif yang legal yang menghasilkan barang dan jasa dalam skala produksi kecil yang umumnya dilakukan oleh usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum.
- Produksi rumah tangga untuk digunakan sendiri (production of households for own final use). Sedangkan Mirus dan Smith membedakan tipe underground economy / shadow economy berdasarkan karakter hukumnya yaitu, legal atau ilegal.
Sebuah
penelitian pernah dilakukan di Indonesia
oleh Kuntarto Purnomo (2010) dan didapatkan bahwa besarnya underground economy di Indonesia periode 2000 – 2009 rata-rata
mencapai Rp 151,79 Triliun – Rp 152,39 Triliun setiap tahunnya, atau sebesar
5,06 % – 5,08 % dari PDB. Didapatkan juga bahwa potensi pajak atas aktivitas underground economy di Indonesia periode
tahun 2000 – 2009 rata-rata mencapai Rp 18,88 Triliun – Rp 18,96 Triliun per
tahun atau sekitar 0,62 % - 0,63 % dari PDB dan setiap kenaikan 1% tarif pajak
rata-rata, akan meningkatkan besaran underground
economy di Indonesia sebesar 1,08 %.
Aktivitas underground economy / shadow economy akan berdampak pada
kecenderungan otoritas pajak untuk mengeksploitasi zona yang pasti dan aman,
yaitu sector formal semata, sehingga anggapan sebagian masyarakat bahwa sistem
pemajakan itu lebih diarahkan seperti strategi berburu di kebun binatang
mungkin tidak sepenuhnya salah. Padahal disisi lain, skema penghindaran pajak
pada sector formal juga tidak sepenuhnya
mampu ditutup, apalagi yang dilakukan oleh Multi National Enterpirse
(MNE) melalui skema penghindaran pajak mulai dari Control Foreign Company, Thin Capitalization, Treaty Shopping, Abuse
Transfer Pricing dan lain lain. Tapi
ini bukan topic yang akan di bahas kali ini.
Meningkatkan penerimaan
pajak dari aktivitas underground economy
/ shadow economy menjadi perhatian
besar otoritas pajak di banyak negara berkembang, hal ini sebuah merupakan
tantangan Barrie Russell dalam Ganda Christian Tobing. Tantangan yang dihadapi
oleh otoritas pajak adalah sebagai berikut (OECD,“Reducing Opportunities for Tax Non-Compliance in the Underground
Economy”) :
- Sifat dari aktivitas underground economy yang tersebar dan tersembunyi membuat individu yang terlibat di dalamnya sulit untuk terdeteksi.
- Kesulitan dalam mengidentifikasi target penerimaan dari aktivitas ini.
- Individu yang terlibat dalam aktivitas underground economy ini tidak memiliki pembukuan maupun pencatatan yang cukup memadai.
- Meskipun individu dalam aktivitas underground economy terdeteksi, namun terdapat kesulitan dalam memastikan jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan oleh mereka.
- Meskipun jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan dapat ditetapkan, namun terdapat kesulitan dalam mengumpulkan pajak yang harus dibayar, dan sanksi administrasi lainnya.
- Mengatasi ketidakpatuhan pada underground economy tidak memberikan jaminan ketidakpatuhan tersebut tidak terulang lagi.
- Wajib Pajak patuh yang merasa bahwa underground economy tidak ditangani dengan benar oleh otoritas pajak dapat merespon tindakan tersebut dengan menjadi kurang patuh.
Untuk menghadapi
tantangan tersebut, otoritas pajak disarankan untuk mengembangkan strategi
kepatuhan yang terintegrasi yang berfokus kepada penelitian terhadap penyebab
ketidakpatuhan meningkatkan kegiatan asistensi, mendorong kepatuhan individu
yang terlibat aktivitas shadow economy
serta penegakan hukum terhadap individu yang tidak patuh. (Ganda Christian
Tobing).
Langkah-langkah yang
dapat ditempuh oleh otoritas pajak adalah sebagai berikut:
- Melakukan Penelitian terhadap area-area pada aktivitas underground economy
- Berkerjasama dengan institusi pemerintahan lainnya.
- Mereduksi risiko ketidakpatuhan pada aktivitas underground economy
Untuk mereduksi risiko
ketidakpatuhan pada aktivitas underground
economy, maka dibutuhkan proses pengidentifikasian risiko. Beberapa
cara yang dapat ditempuh dalam mereduksi ketidakpatuhan pada aktivitas underground economy / shadow
economy diantaranya adalah:
- Kewajiban penggunaan register kas pada aktivitas aktivitas berbagai sektor di bidang perdagangan maupun usaha jasa perorangan yang umumnya menggunakan instrumen pembayaran tunai. Dengan begitu, otoritas pajak dapat memverifikasi kebenaran jumlah peredaran usaha dari usaha perdagangan tersebut.
- Perluasan penggunaan data pihak ketiga untuk dibandingkan dengan data perpajakan. Misalnya, penggunaan data dari perusahaan real estate, transaksi kartu kredit maupun PayPal, data rekening bank dan lain-lain.
- Mengatur standar pembukuan bagi usaha kecil.
- Program edukasi dan asistensi kepada individu-individu dalam underground economy untuk membantu mereka mematuhi kewajiban mereka serta mensosialisasikan biaya sosial dan risiko yang berkaitan dengan ketidakpatuhan pajak.
Langkah yang jauh lebih penting adalah adanya
kemauan politis dari pengambil kebijakan di negara ini untuk melakukan upaya
penegakan hukum semaksimal mungkin, dengan cara mengeliminir sector underground
economy khususnya yang sifat nya illegal.
Adanya keleluasan akses data nasabah perbankan untuk kepentingan pajak
dan adanya pemidanaan yang lebih luas untuk kasus kasus tindak pidana pencucian
uang perlu diterapkan, termasuk dalam kasus penggelapan pajak dimana akan
secara otomatis mengurangi peranan underground
economy terhadap PDB, sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak sekaligus
pula besaran rasio pajak.
Penguatan Kelembagaan Pajak
Banyak orang mengatakan mestinya
otoritas pajak di Indonesia dibangun
dengan mengadopsi sistem kelembagaan yang diterapkan oleh negara- negara maju,
agar otoritas pajak di Indonesia bisa menjadi lebih professional. Mungkin ungkapan tersebut lebih bernuansa
sikap sinis dan skeptis daripada pandangan objektif dengan membandingkan sistem
perpajakan di Indonesia dan di negara negara maju. Pada kesempatan ini saya ingin bercerita
tentang pengalaman sederhana ketika saya melihat film dengan judul taxing women yang di perlihatkan di National Tax College (NTC) di Tokyo Jepang. Jika film tersebut di perlihatkan oleh
lembaga resmi NTC, maka saya berkeyakinan bahwa memang seperti itulah
efektivitas peran otoritas pajak di Jepang. Diceritakan tentang seorang agen wanita petugas pajak yang dapat melakukan
penyamaran, melakukan penyadapan, punya akses membuka rekening nasabah
perbankan (bukan hanya dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan namun juga dalam
rangka pengawasan dan exchange of
information dengan negara lain) dan yang terpenting melakukan penangkapan
dalam rangka penyidikan tindak pidana perpajakan. Belakangan saya temukan bahwa kewenangan
tersebut memang dimiliki oleh otoritas pajak bukan saja di Jepang tetapi juga
oleh seluruh negara negara anggota OECD.
Lantas
bagaimana dengan kewenangan otoritas pajak di Indonesia? otoritas pajak di
Indonesia berwenang untuk memeriksa Wajib Pajak karena untuk menguji kepatuhan
atau karena untuk tujuan lain, selain itu otoritas pajak pajak di Indonesia
juga berwenang melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan, namun harus di
ingat, otoritas pajak di Indonesia tidak punya kewenangan untuk menangkap
terduga tindak pidana perpajakan.
Sehingga dalam banyak kasus penyidikan tindak pidana perpajakan tidak
berjalan efektif karena tersangka nya kabur atau tidak jelas
keberadaannya. Selama ini pun kewenangan
tersebut lebih banyak digunakan untuk pemidanaan kasus kasus penyalahgunaan
faktur pajak (PPN).
Selain upaya law enforcement, ada upaya lain yang cukup penting yang dilakukan otoritas pajak yaitu melalui upaya konseling. Kenapa hal ini saya katakan cukup penting? karena upaya konseling ini ada target penerimaannya dan jumlahnya bisa lebih besar dari target pemeriksaan dan penyidikan pajak. Jika dapat saya analogikan, upaya konseling petugas pajak terhadap Wajib Pajak ini terkadang seperti konseling dari petugas kesehatan terhadap para perokok, sekalipun petugas kesehatan membawa data statistik dan uji ilmiah yang begitu banyak, tapi akan sangat sulit meyakinkan para perokok untuk berhenti merokok. Pada titik ini, mungkin yang dibutuhkan adalah fatwa haram merokok dan regulasi dimana bukan hanya area tertentu harus dibebaskan dari perokok tetapi juga pada kota tertentu harus bebas dari para perokok. Maksud saya adalah, ketika Wajib Pajak sulit untuk dilakukan konseling, maka pada saat yang sama diberikan ruang yang cukup besar untuk Wajib Pajak tersebut untuk dilakukan audit atau penyidikan. Sehingga pemeriksaan pajak tidak hanya terjebak pada pemeriksaan yang rutin lebih bayar atau rugi, demikian juga penyidikan pajak tidak semata pada penyalahgunaan faktur pajak tapi secara lebih jauh dapat juga menjangkau kasus kasus pidana pajak yang lain misalnya memidanakan seseorang yang tidak ber NPWP padahal sudah jelas punya penghasilan yang cukup.
Selain upaya law enforcement, ada upaya lain yang cukup penting yang dilakukan otoritas pajak yaitu melalui upaya konseling. Kenapa hal ini saya katakan cukup penting? karena upaya konseling ini ada target penerimaannya dan jumlahnya bisa lebih besar dari target pemeriksaan dan penyidikan pajak. Jika dapat saya analogikan, upaya konseling petugas pajak terhadap Wajib Pajak ini terkadang seperti konseling dari petugas kesehatan terhadap para perokok, sekalipun petugas kesehatan membawa data statistik dan uji ilmiah yang begitu banyak, tapi akan sangat sulit meyakinkan para perokok untuk berhenti merokok. Pada titik ini, mungkin yang dibutuhkan adalah fatwa haram merokok dan regulasi dimana bukan hanya area tertentu harus dibebaskan dari perokok tetapi juga pada kota tertentu harus bebas dari para perokok. Maksud saya adalah, ketika Wajib Pajak sulit untuk dilakukan konseling, maka pada saat yang sama diberikan ruang yang cukup besar untuk Wajib Pajak tersebut untuk dilakukan audit atau penyidikan. Sehingga pemeriksaan pajak tidak hanya terjebak pada pemeriksaan yang rutin lebih bayar atau rugi, demikian juga penyidikan pajak tidak semata pada penyalahgunaan faktur pajak tapi secara lebih jauh dapat juga menjangkau kasus kasus pidana pajak yang lain misalnya memidanakan seseorang yang tidak ber NPWP padahal sudah jelas punya penghasilan yang cukup.
Lantas bagaimana dengan kewenangan otoritas
pajak untuk melakukan akses data nasabah perbankan?
Rahasia bank merupakan topik menarik
untuk dibicarakan karena keberadaannya ada dalam area antara “tugasnya” dalam melindungi nasabah dan
dihadapkannya “tugas” tersebut dengan kepentingan diluar bidang perbankan,
yaitu perpajakan. Ketentuan mengenai
kerahasiaan bank menjaga informasi nasabah memiliki konsekuensi bahwa bank
dapat saja dengan sengaja menyembunyikan keadaan keuangan nasabah baik
perseorangan atau perusahaan yang sedang menjadi sorotan khususnya dalam hal
kepatuhan pajak. Bagaimana ketentuan tentang kerahasiaan bank di Indonesia,
dalam hal menunjang upaya penegakan kepatuhan pajak? apakah ketentuan tersebut
membuka akses dalam menjawab tuntutan ketentuan perpajakan, sehingga adanya dukungan
penegakan hukum dibidang perpajakan tersebut? Hal tersebut dapat dilihat dalam
Undang-Undang No. 10 / 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 / 1992
tentang Perbankan.
Ketentuan mengenai rahasia bank di
Indonesia diatur dalam pasal 40 ayat 1 dan 2 UU No. 10 /1998. Namun sebelumnya
perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan rahasia bank menurut
undang-undang tersebut. Pasal 1 butir 28 menyebutkan bahwa rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya.
Pasal 41
undang-undang tersebut menyebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan
Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah
tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti
tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu
kepada pejabat pajak. Ketentuan ini kemudian terjabar dalam peraturan pelaksana
yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/19/PBI/2000 tentang
Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau izin Tertulis Membuka Rahasia
Bank. Menurut PBI tersebut untuk melakukan penerobosan rahasia bank demi
kepentingan perpajakan terlebih dahulu harus diperoleh izin atau perintah tertulis
untuk membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan
tertulis dari Menteri Keuangan. Permintaan penerobosan rahasia bank tersebut
harus disertai tanda tangan dengan membubuhkan tanda tangan basah dari Menteri
Keuangan. PimpinanbBank Indonesia mengeluarkan perintah tersebut kepada bank
agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta
surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak. Ada 5 hal yang harus tercantum didalam permohonan tertulis kepada bank
untuk dapat dilakukan penerobosan rahasia bank, dalam Chandra Dewi
Puspitasari yaitu :
- Nama pejabat pajak;
- Nama nasabah penyimpan, Wajib Pajak yang dikehendaki keterangannya;
- Nama kantor bank tempat nasabah mempunyai simpanan;
- Keterangan yang diminta;
- Alasan diperlukannya keterangan.
Atas adanya permintaan tertulis yang disampaikan
kepada bank melahirkan kewajiban bagi bank untuk melaksanakan perintah Pimpinan
Bank Indonesia tersebut. Bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan
keuangan nasabah penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah atau izin
tertulis dari Bank Indonesia. Bank hanya dapat memberikan keterangan baik lisan
maupun tertulis, memperlihatkan bukti-bukti tertulis, surat-surat, dan hasil cetak
data elektronis tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan yang disebutkan
dalam perintah atau izin tertulis yang disampaikan kepada bank tersebut.
Ketentuan-ketentuan
yang tertuang dalam Undang-Undang Perbankan tersebut maupun dalam Peraturan bank
Indonesia pada prinsipnya sejalan dengan apa yang menjadi tuntutan
Undang-Undang No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, bahwa apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank,
akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga
lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa atau disidik,
atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib
memberikan keterangan atau bukti yang diminta (pasal 35 ayat 1). Dalam hal
pihak-pihak tersebut terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan
pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan,
kecuali untuk bank kewajiban merahasiakan ditiadakan atas perintah tertulis
dari Menteri Keuangan (pasal 35 ayat 2).
Dari uraian di atas jelas bahwa
penerobosan kerahasiaan nasabah perbankan untuk kepentingan pajak di Indonesia
semata hanya dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan pajak, itupun juga melalui
tahapan berjenjang yang tidak mudah.
Lantas bagaimana dengan praktek penerobosan kerahasiaan Wajib Pajak di negara negara lain khususnya di negara negara anggota OECD? Ternyata pada perkembangan terkini di negara negara lain, bahkan negara negara yang selama ini dikenal sangat ketat melindungi kerahasiaan nasabah penyimpan nya seperti Swiss dan negara lain yang di kenal sebagai Tax Haven Country, bersedia membuka rahasia nasabah penyimpan nya bukan hanya dalam rangka pemeriksaan pajak namun juga dalam rangka exchange of information (EOI) antar negara mitra.
Kenapa negara negara tersebut pada akhir nya bersedia memberikan akses pada kerahasiaan nasabahnya? Karena dinamika yang berkembang pada saat ini negara negara di dunia telah bersepakat untuk membatasi muncul nya fenomena harmful tax competition. Sehingga amandemen Undang Undang ketentuan Umum Perpajakan dan Undang Undang Perbankan menjadi sebuah keniscayaan untuk membuka akses rahasia nasabah perbankan bukan hanya dalam rangka pemeriksaan pajak namun juga dalam rangka pengamanan penerimaan negara, jika kita tidak menyiapkan perangkat regulasi untuk memenuhi kepentingan akses informasi kerahasiaan nasabah perbankan maka konsekuensi yang akan timbul adalah otoritas pajak akan kesulitan menyiapkan informasi Wajib Pajak dalam rangka exchange of information (EOI) dengan negara mitra P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), jika kita tidak mampu memenuhi permintaan dalam rangka EOI tersebut, maka akan sangat mungkin kita akan di anggap oleh negara mitra P3B sebagai negara yang melakukan harmful tax competition. Singkatnya, dinamika terkini menunjukan bahwa bukan merupakan sebuah keuntungan bagi sebuah negara untuk memberikan perlindungan kerahasiaan nasabah secara berlebihan, khusus nya terkait dengan pajak, karena justru tidak menarik bagi investasi, karena melawan arus pemikiran global.
Lantas bagaimana dengan praktek penerobosan kerahasiaan Wajib Pajak di negara negara lain khususnya di negara negara anggota OECD? Ternyata pada perkembangan terkini di negara negara lain, bahkan negara negara yang selama ini dikenal sangat ketat melindungi kerahasiaan nasabah penyimpan nya seperti Swiss dan negara lain yang di kenal sebagai Tax Haven Country, bersedia membuka rahasia nasabah penyimpan nya bukan hanya dalam rangka pemeriksaan pajak namun juga dalam rangka exchange of information (EOI) antar negara mitra.
Kenapa negara negara tersebut pada akhir nya bersedia memberikan akses pada kerahasiaan nasabahnya? Karena dinamika yang berkembang pada saat ini negara negara di dunia telah bersepakat untuk membatasi muncul nya fenomena harmful tax competition. Sehingga amandemen Undang Undang ketentuan Umum Perpajakan dan Undang Undang Perbankan menjadi sebuah keniscayaan untuk membuka akses rahasia nasabah perbankan bukan hanya dalam rangka pemeriksaan pajak namun juga dalam rangka pengamanan penerimaan negara, jika kita tidak menyiapkan perangkat regulasi untuk memenuhi kepentingan akses informasi kerahasiaan nasabah perbankan maka konsekuensi yang akan timbul adalah otoritas pajak akan kesulitan menyiapkan informasi Wajib Pajak dalam rangka exchange of information (EOI) dengan negara mitra P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), jika kita tidak mampu memenuhi permintaan dalam rangka EOI tersebut, maka akan sangat mungkin kita akan di anggap oleh negara mitra P3B sebagai negara yang melakukan harmful tax competition. Singkatnya, dinamika terkini menunjukan bahwa bukan merupakan sebuah keuntungan bagi sebuah negara untuk memberikan perlindungan kerahasiaan nasabah secara berlebihan, khusus nya terkait dengan pajak, karena justru tidak menarik bagi investasi, karena melawan arus pemikiran global.
Dari paparan di
atas, jelas bahwa permasalahan tentang pencapaian target penerimaan pajak dan
tingkat kepatuhan Wajib Pajak bukan semata permasalahan pada ranah administrasi
semata, namun butuh terobosan politik untuk memperkuat fungsi kelembagaan
otoritas pajak. Kita bukan hanya butuh
jumlah pegawai pajak yang lebih banyak, bukan semata perlu penguatan dalam hal
kompetensi dan profesionalisme serta integritas pegawai pajak, namun secara
lebih jauh, kita juga butuh keberpihakan semua pihak tentang betapa penting nya
peranan pajak sehingga perlu penguatan yang lebih besar termasuk dalam akses
informasi data nasabah perbankan untuk kepentingan pengamanan penerimaan pajak
serta perlu nya kewenangan penangkapan sebagai perangkat pelengkap dari fungsi law enforcement (penyidikan pidana
pajak).
Konon, Thomas
Jefferson yang dikenal sebagai bapak konstitusi Amerika Serikat pernah berkata,
bahwa pilar dari eksistensi negara demokrasi Amerika Serikat adalah pajak dan
cukai, beliau telah menyampaikan hal tersebut lebih dari 300 tahun yang lalu,
sehingga sudah menjadi tradisi di Amerika Serikat bahwa dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden, isu
perpajakan selalu menjadi elemen dari rencana kebijakan publik yang ditawarkan
oleh setiap kontestan, tentu nya hal ini sangat masuk akal, memang nya kalau
seorang calon legislator atau seorang
calon pemimpin eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden)
menawarkan rencana kebijakan publik dengan janji menyiapkan berbagai fasilitas
barang publik dan jasa publik, lantas uang nya dari mana kalau bukan uang
pajak? Sehingga sangat tidak masuk akal kalau mereka juga tidak menawarkan
solusi bagaimana penerimaan pajak tersebut akan dipungut.
(Widi Widodo,
sebagai pendapat pribadi)
Artikel Terkait : Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak
0 komentar:
Post a Comment
Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya