Kuasa Wajib Pajak (pajak.go.id) |
Catatan Ekstens - Dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, wajib pajak dapat menunjuk pihak lain sebagai kuasanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan Kuasa sebagai kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu), kekuatan, wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) sesuatu, pengaruh (gengsi, kesaktian, dan sebagainya) yang ada pada seseorang karena jabatannya (martabatnya), mampu, sanggup, atau pada definisi terakhirnya adalah orang yang diserahi wewenang.
Seperti diungkap di awal tulisan ini, aturan perpajakan juga mengenal kuasa wajib pajak. Merujuk ketentuan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 1983 (UU KUP) menyebutkan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi wajib pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak wajib pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Definisi, Kualifikasi, dan Persyaratan Kuasa Wajib Pajak
Yang dimaksud dengan Kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari wajib pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam prosesnya, Kuasa dapat melaksanakan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak yang berkaitan dengan satu jenis pajak untuk satu tahun pajak, atau satu bagian tahun pajak, atau satu atau beberapa masa pajak, kecuali pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut dilakukan untuk beberapa jenis pajak sebagai satu kesatuan.
Selanjutnya, Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mendelegasikan pengaturan kualifikasi, persyaratan, serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang Kuasa wajib pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). PMK terkait yang berlaku saat ini adalah PMK-229/PMK.03/2014.
Sebelum membahas lebih lanjut PMK dimaksud, perlu juga diperhatikan Pasal 48 UU KUP sebagai dasar penerbitan peraturan pemerintah untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU KUP.
Berdasarkan amanat Pasal 48 UU KUP inilah, ketentuan tentang Kuasa wajib pajak diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 (PP 74/2011).
Terkait seorang yang dapat menjadi Kuasa wajib pajak, Kuasa harus memenuhi 5 syarat berikut:
- Menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
- Memiliki surat kuasa khusus dari wajib pajak yang memberi kuasa.
- Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Telah menyampaikan SPT PPh tahun pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang tahun pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh.
- Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 49 ayat (2) PP 74/2011 menyatakan bahwa kuasa wajib pajak bisa dijalankan oleh Konsultan Pajak dan Bukan Konsultan Pajak.
Sementara dalam PMK-229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa, menyatakan Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang meliputi Konsultan Pajak dan Karyawan Wajib Pajak.
Konsultan pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai peraturan perpajakan apabila memiliki izin praktik konsultan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk, dan harus menyerahkan surat pernyataan sebagai konsultan pajak.
Karyawan Wajib Pajak dapat menerima kuasa dari Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) sepanjang merupakan karyawan tetap dan masih aktif menerima penghasilan dari Wajib Pajak. Hal ini dibuktikan dengan daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan.
Untuk karyawan wajib pajak akan dianggap menguasai peraturan perpajakan apabila memiliki:
- sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;
- ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
- sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak.
Pada saat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak, seorang kuasa harus menyerahkan surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang dilampiri dengan dokumen kelengkapan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menangani pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang dikuasakan.
Sesuai dengan pasal 6 ayat (2) PMK-229/PMK.03/2014, dalam hal seorang kuasa merupakan konsultan pajak, dokumen kelengkapan tersebut adalah:
- fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak;
- surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
- fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
- fotokopi tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun pajak terakhir bagi kuasa yang telah memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT PPh.
Sedangkan dalam hal seorang kuasa merupakan karyawan wajib pajak, dokumen kelengkapan sebagai berikut:
- fotokopi sertifikat brevet di bidang perpajakan, ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, atau sertifikat konsultan pajak;
- fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
- fotokopi tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun pajak terakhir bagi kuasa yang telah memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT PPh; dan
- fotokopi daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan PPh pasal 21 dalam SPT Masa PPh pasal 21 yang telah dilaporkan wajib pajak.
Hingga tulisan ini dibuat, pengaturan terbaru tentang Kuasa wajib pajak teracantum dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada UU yang berlaku sejak 29 Oktober 2021 itu, kriteria penerima kuasa dari wajib pajak diperluas. Pasal 32 ayat (3) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Selanjutnya pada ayat (3a) dijelaskan bahwa seorang kuasa yang ditunjuk harus memenuhi kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, dan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua.
Kompetensi tertentu yang dimaksud antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam KBBI, sedarah dan semenda merupakan bentuk kekerabatan. Bedanya, sedarah adalah bentuk kekerabatan yang memiliki hubungan darah, contohnya orang tua dan anak (satu derajat) atau kakek dan cucu (dua derajat). Sedangkan semenda adalah bentuk kekerabatan dari perkawinan, contohnya mertua atau anak tiri.
Berikutnya, dalam pembuatan surat kuasa khusus, surat tersebut paling sedikit harus memuat:
- nama, alamat, dan tanda tangan di atas meterai serta NPWP dari wajib pajak pemberi kuasa;
- nama, alamat, dan tanda tangan serta NPWP penerima kuasa;
- hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan yang mencakup keperluan perpajakan, jenis pajak, dan masa pajak/bagian tahun pajak/tahun pajak.
Selain itu, seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari wajib pajak kepada orang lain.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau karyawannya untuk menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggunakan surat penunjukkan.
Ketentuan Pasal 11 PMK-229/PMK.03/2014 menjelaskan bahwa pemberian kuasa akan berakhir dalam hal:
- seorang kuasa terbukti melakukan perbuatan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, atau dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya;
- berakhirnya pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang tercantum dalam surat kuasa khusus; atau
- adanya pencabutan pemberian kuasa oleh wajib pajak.
Demikian penjelasan mengenai ketentuan Kuasa Wajib Pajak ini. Perlu diingat, jika wajib pajak memutuskan untuk memberikan kuasa kepada pihak lain dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, maka segala risiko perpajakan tidak serta merta beralih ke penerima kuasa. Wajib Pajak memiliki tanggung jawab penuh atas segala risiko yang mungkin muncul di kemudian hari. Alangkah baiknya jika setiap keputusan yang diambil oleh Kuasa, wajib pajak juga mengetahuinya. (*)
Penulis: Herry Prapto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Artikel ini ditayangkan pertama kali oleh pajak.go.id pada Senin, 21 Februari 2022
0 komentar:
Post a Comment
Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya