Lalu muncul isu bahwa sepeda akan kena pajak? Benarkah demikian?
Isu ini berawal dari rencana revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam UU tersebut, sepeda dikategorikan sebagai kendaraan tidak bermotor dan belum ada regulasi. Informasi yang diterima publik berkembang liar, seolah pihak berwenang (pemerintah) akan mengenakan pajak untuk para pesepeda.
Dikutip dari kompas.com (Rabu, 1/7/2020), Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan bahwa untuk menyikapi maraknya penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi oleh masyarakat dan untuk mendukung keselamatan para pesepeda, maka Kemenhub memang berencana akan membuat regulasi terkait sepeda.
Namun regulasi yang dimaksud misalnya dengan kewajiban memasang alat pemantul cahaya untuk meningkatkan keamanan pengguna sepeda di jalan karena berbaur dengan kendaraan bermotor atau meminta pemerintah daerah membuat jalur khusus sepeda. Jadi, bukan dengan mengenakan pajak sepeda seperti pengenaan pajak terhadap kendaraan bermotor.
Saat ini, berdasarkan pengelolanya, dikenal ada dua jenis pajak yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat dikelola oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Jenis pajak pusat yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Pertambangan, Perhutanan, dan Sektor lainnya (PBB P3L), dan Bea Meterai. Dalam Undang-undang yang mengatur kelima jenis pajak pusat tersebut (UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU PBB, dan UU Bea Meterai) tidak mengatur soal pajak sepeda.
Lalu bagaimana dengan pajak daerah? Hingga saat ini, dalam UU Nomor 28 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Derah (PDRD) hanya memuat lima jenis pajak daerah yang dikelola pemerintah provinsi (Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Permukaan, dan Pajak Rokok) dan 11 jenis pajak daerah yang dikelola pemerintah kab/kota (Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Dalam daftar pajak daerah tersebut pun tidak ada jenis pajak sepeda.
Pengenaan pajak terhadap sepeda yang saat ini berlaku adalah ketika terjadi transaksi pembelian sepeda. Sebagaimana diketahui, sepeda merupakan barang kena pajak yang merupakan objek PPN. Maka, apabila seseorang membeli sepeda di sebuah toko dalam negeri, maka pembeli akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 persen dari harga jual.
Jika pembeli melakukan pembelian dari luar negeri (impor), selain PPN 10%, maka pembeli juga dikenakan bea masuk atas pembelian sepeda tersebut.
Ketentuan bea masuk sepeda atau barang impor lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak Atas Impor Barang Kiriman. Ketentuan ini menyebutkan bahwa untuk setiap barang impor yang bernilai US$3 atau lebih dikenakan bea masuk sebesar 7,5 persen dari harga jual.
Dalam hal pembeli sepeda membawa sendiri sepedanya dari luar negeri, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PMK-203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkutan.
Dalam beleid itu, barang pribadi penumpang dengan nilai pabean paling banyak FOB US$500 per orang untuk setiap kedatangan diberikan pembebasan bea masuk alias gratis. Namun, jika nilai sepeda yang dibeli lebih besar dari US$500, maka pembeli akan dipungut bea masuk sebesar 10 persen dari nilai pembelian dikurangi US$500.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa negara tidak memungut pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan atas sepeda. Artinya, berbeda dengan kendaraan bermotor, pemilik sepeda tidak diwajibkan membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) setiap tahunnya oleh pemerintah provinsi.
Bagaimana dengan pemilik toko sepeda? Apakah kena pajak juga?
Pada prinsipnya, semua wajib pajak baik orang pribadi maupun badan usaha yang menerima penghasilan (yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun) diwajibkan untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan sistem self assesment yang dianut Indonesia, negara memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP, menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak juga diwajibkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
Dengan kata lain, kewajiban perpajakan di Indonesia hampir mengenai seluruh wajib pajak, tak terkecuali pengusaha usaha dagang (pedagang) dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pedagang yang memiliki peredaran bruto (omzet) maksimal Rp4,8 miliar tetap membayar pajak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, penghasilan usaha yang diterima oleh wajib pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final dengan tarif 0,5% persen dari peredaran bruto.
Perlu kita sadari bersama, hingga saat ini, pajaklah yang mayoritas mendanai pembangunan negara kita. Pajak yang terkumpul, salah satunya digunakan untuk membiayai penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Maka, mari bergotong royong bersama membangun bangsa melalui pembayaran pajak. Karena Pajak Kuat Indonesia Maju.
Berdasarkan sistem self assesment yang dianut Indonesia, negara memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP, menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak juga diwajibkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
Dengan kata lain, kewajiban perpajakan di Indonesia hampir mengenai seluruh wajib pajak, tak terkecuali pengusaha usaha dagang (pedagang) dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pedagang yang memiliki peredaran bruto (omzet) maksimal Rp4,8 miliar tetap membayar pajak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, penghasilan usaha yang diterima oleh wajib pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final dengan tarif 0,5% persen dari peredaran bruto.
Perlu kita sadari bersama, hingga saat ini, pajaklah yang mayoritas mendanai pembangunan negara kita. Pajak yang terkumpul, salah satunya digunakan untuk membiayai penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Maka, mari bergotong royong bersama membangun bangsa melalui pembayaran pajak. Karena Pajak Kuat Indonesia Maju.
***
oleh: Herry Prapto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
Ditulis untuk www.pajak.go.id, dan sudah ditayangkan sejak tanggal 3 Juli 2020 dengan judul "Pajak Sepeda"
Ditulis untuk www.pajak.go.id, dan sudah ditayangkan sejak tanggal 3 Juli 2020 dengan judul "Pajak Sepeda"
0 komentar:
Post a Comment
Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya