Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Catatan Ekstens - Dalam tiap-tiap masyarakat, ada hubungan antara manusia dengan manusia, dan selalu ada peraturan yang mengikatnya yaitu hukum.
Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hak untuk memperoleh gaji / upah dari pekerjaan membawa kewajiban untuk menghasilkan atau untuk bekerja.


Demikian juga dengan pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban menyerahkan sebagian kepada negara dalam bentuk iuran untuk membantu negara dalam meningkatkan kesejahteraan umum. 

Begitu pula hak untuk memperoleh dan memiliki gedung, mobil, dan barang lain membawa kewajiban untuk menyumbang kepada negara.
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 

Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.


Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dari definisi yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pajak adalah :
  1. Merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan (wajib pajak) yang bersifat memaksa, yang mengandung pengertian bahwa kalau wajib pajak itu tidak mau membayar pajak yang dibebankan kepadanya, maka hutang pajak itu dapat ditagih secara paksa, misalnya dengan penyitaan.
  2. Pajak dipungut berdasar peraturan perundangan yang berlaku. 
  3. Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pusat (pajak pusat) maupun daerah (pajak daerah).
  4. Pajak tidak menimbulkan adanya kontra prestasi dari pemerintah secara langsung. 
  5. Pajak dipungut untuk membiayai pengeluaran pemerintah/penyelenggaraan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  6. Pajak berfungsi sebagai pengatur anggaran negara.

Sehubungan dengan adanya ciri-ciri di atas, maka pajak berbeda dengan retribusi. Pada retribusi pembayaran tersebut memang ditujukan semata-mata oleh si pembayar untuk memperoleh suatu prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya pembayaran karena pemberian suatu izin oleh pemerintah, retribusi parkir atau retribusi sampah.

Jenis dan macam pajak yang berlaku di Indonesia.

1. Berdasarkan lembaga pemungutannya

Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah

Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. 

Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak pusat, akan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. 

Untuk pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak derah, akan dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau Kantor sejenisnya yang dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.

Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

1. Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak

Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 

Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. 

Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang Kena Pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM

Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat  berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.


Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Pertambangan dan Perhutanan (PBB P3)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1. Pajak Provinsi

a. Pajak Kendaraan Bermotor ;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Air Permukaan;.
e. Pajak Rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota

a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir.
h. Pajak Air     
i. Pajak sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

2. Berdasarkan pembayarnya, Pajak dapat dibagi dua golongan, yaitu :

1. Pajak langsung ialah pajak yang harus dipikul sendiri oleh si wajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain. Misalnya : pajak seorang pengusaha dibayar dari pendapatan atau labanya sendiri sehingga pada dasarnya pajak ini tidak menaikkan harga barang yang diproduksi oleh pengusaha itu.

Contoh pajak langsung : pajak penghasilan, pajak kekayaan, pajak rumah tangga, pajak perseroan, pajak bumi dan bangunan dan sebagainya.

2. Pajak tidak langsung ialah pajak yang dibayar oleh si wajib pajak tetapi oleh wajib pajak ini dibebankan kepada orang lain yang membeli barang-barang yang dihasilkan olehnya. 

Pajak ini akhirnya dapat menaikkan harga, karena dibebankan kepada pembeli dan karena itu hanya dibayar kalau terjadi transaksi yang menimbulkan pajak tersebut. Misalnya : pajak pertambahan nilai, pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea balik nama dan sebagainya.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Kewajiban pajak itu timbul setelah memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Kewajiban pajak subyektif ialah kewajiban pajak yang melihat orangnya. Misalnya : semua orang atau badan hukum yang berdomisili di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subyektif.
  2. Kewajiban pajak obyektif ialah kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dikenakan pajak. Misalnya : orang atau badan hukum yang memenuhi kewajiban pajak kekayaan adalah orang yang punya kekayaan tertentu, yang memenuhi kewajiban pajak kendaraan ialah orang yang punya kendaraan bermotor dan sebagainya.

Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undang-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengakomodasi mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak.

KEWAJIBAN WAJIB PAJAK ADALAH :

A. KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI

Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Disamping melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-registration (e-reg), yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).

Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh KPP atau KP2KP apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. 

Syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha orang pribadi atau badan tersebut melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- setahun. 

Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dapat juga melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Bagi pengusaha yang telah diukuhkan sebagai PKP, diwajibkan untuk memungut PPN dari setiap pembeli/pemakai jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. 

PPN yang sudah dipungut, kemudian dilaporkan dalam laporan bulanan (SPT Masa) PPN dan apabila ternyata ada PPN yang harus disetor ke bank atau kantor pos, maka harus disetor terlebih dahulu sebelum dilaporkan ke ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. 

KPP atau KP2KP akan melakukan penelitian mengenai keberadaan dan kegiatan usaha di tempat usaha Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP tersebut.

B. KEWAJIBAN PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN PAJAK

Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.

Catatan Ekstens Jatuh tempo pembayaran dan pelaporan pajak
Jatuh tempo pemmbayaran dan pelaporan pajak



C. KEWAJIBAN DALAM HAL DIPERIKSA

Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah:

  1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
  2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang Menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah secara elektronik.
  3. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan.
  4. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
  5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
  6. Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.

D. KEWAJIBAN MEMBERI DATA

Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.

Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 

Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.

Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak  Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

HAK WAJIB PAJAK ADALAH :

A. HAK ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
  
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :
1. Melalui Surat Pemberitahuan (SPT),
2. Dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima imbalan bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

Update (13/5/2021): 

Kini penerapan imbalan bunga maupun sanksi bunga pajak mengalami perubahan. Melalui Pasal 113 UU Cipta Kerja, besaran imbalan bunga tidak lagi berupa tarif tetap, melainkan mengacu pada suku bunga acuan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan dibagi 12. Ada yang ditambah 5% dibagi 12, ada yang 10%, bahkan 15% kemudian dibagi 12.

Dengan begitu, bunga pajak tidak tetap lagi besarannya. Dapat berubah-ubah setiap bulan mengikuti pergerakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Kalau bunga acuan naik, imbalan bunga atau sanksi bisa lebih besar. Pun sebaliknya jika sedang turun, imbalan bunga atau sanksi bakal lebih kecil atau ringan.

Besaran bunga pajak ini ditetapkan per bulan melalui penerbitan Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Sebagai contoh, Untuk periode 1 Mei 2021 hingga 31 Mei 2021, besaran imbalan bunga telah ditetapkan sebesar 0,55%. Ini diatur dalam KMK No.25/KM.10/2021. (lihat KMK-25/KM.10/2021 di sini)

Pembeda lainnya, di UU Cipta Kerja, sanksi bunga pajak dikenakan paling lama 24 bulan, serta bagian bulan dihitung penuh 1 bulan. Sedangkan di UU KUP tidak mengatur hal itu.

B. HAK DALAM HAL WAJIB PAJAK DILAKUKAN PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN

Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak :
- Meminta Surat Perintah Pemeriksaan
- Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
- Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
- Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT
- untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

C. HAK UNTUK MENGAJUKAN KEBERATAN, BANDING & PENINJAUAN KEMBALI

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. 

Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah : Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.

D. HAK-HAK WAJIB PAJAK LAINNYA

- Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak

Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. 

Di samping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.

Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain :
  • Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
  • Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
  • Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

- Hak Untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran

Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.

- Hak Untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.

- Hak Untuk Pengurangan PPh Pasal 25

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

- Hak Untuk Pengurangan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang. 

Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota/kabupaten setempat. (lihat artikel: Beda Pajak Pusat dan Pajak Daerah)

- Hak Untuk Pembebasan Pajak

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan (PPh).

- Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak

Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan. (baca juga: Restitusi PPN Berdasarkan Pasal 17C UU KUP)

- Hak Untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah

Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah. 

Update (13/5/2021): 
Sejak pandemi Covid-19, untuk wajib pajak terdampak Covid-19 mendapat insentif pajak ditanggung pemerintah. (baca juga: Hore! 6 Insentif Pajak Diperpanjang Hingga Juni 2021)

- Hak Untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan

Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. 

BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. 

Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

Insentif Pajak karena Covid-19 dapat dilihat selengkapnya di https://www.pajak.go.id/covid19

download buku hak dan kewajiban wajib pajak dari situs www.pajak.go.id klik disini

sumber: 
pajak.go.id
jobapri.blogspot.com
saripedia.wordpress.com

About Catatan Ekstens

Catatan Ekstens adalah blog pajak yang menjadi media kami dalam memperbarui pengetahuan perpajakan. Anggap saja setiap postingan pada blog ini sebagai catatan kami. Selengkapnya bisa cek "About" di bagian atas blog ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

10 komentar:

  1. Selamat malam gan, ,
    ane ijin copas ya buat tugas tulis tangan Perpajakan II

    ReplyDelete
    Replies
    1. silakan mas.... asal cantumkan sumbernya ya dari catatan ekstens

      Delete
  2. Misi pak....mw nnya...
    Pak ada g dsar hkum ttg wajib pajak yg g byar pajak? Lw da....uu brapa pak....
    Mlsih ya pak sblumnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada dong... silakan browsing dengan kata "UU pajak..." atau "UU penagihan pajak..."

      Delete
  3. sebagai karyawan swasta apakah di wajibkan memiliki NPWP?
    Apakah ada batas penghasilan terendah untuk mendaftar NPWP? Terimakasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untuk karyawan, batasannya PTKP. Jika sudah di atas PTKP wajib ber-NPWP. Tetapi jika menginginkan memiliki NPWP boleh saja.

      Delete
  4. selamat malam, agan, kewajiban sudah terselesaikan, untuk hak selaku pembayar pajak apa juga diatur ya!
    mohon infonya.
    terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau anda baca sampai akhir, di artikel di atas ada hak wajib pajak.

      #CMIIW

      Delete
  5. PBB itu bukan bukti kepemilikan. sertipikat lah yang menjadi bukti kepemilikan yang sah

    ReplyDelete

Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya