Opini Kegiatan Ekstensifikasi Perpajakan, melalui Kegiatan Pengamatan dan Pencarian Data Potensi Perpajakan
Sistem Self Assessment pada Sistem Perpajakan di Indonesia
Self assessment mempunyai arti Wajib Pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak
yang seharusnya terutang. Namun Administrasi Perpajakan yang dalam hal ini
adalah DJP, berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi
pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan,
dan penerapan sanksi administrasi, demikian penjelasan umum Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan. Penjelasan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan menegaskan
bahwa sampai dengan perubahan ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan
tetap menganut self assessment.
Corak lain dari self assessment adalah Wajib Pajak membayar pajak dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak. Pemungutan pajak secara self assessment akan berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi. Tetapi karena dalam self assessment memberi keleluasaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung pajaknya maka menimbulkan peluang besar bagi Wajib Pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, manipulasi, atau pengelapan penghitungan pajaknya.
Corak lain dari self assessment adalah Wajib Pajak membayar pajak dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak. Pemungutan pajak secara self assessment akan berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi. Tetapi karena dalam self assessment memberi keleluasaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung pajaknya maka menimbulkan peluang besar bagi Wajib Pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, manipulasi, atau pengelapan penghitungan pajaknya.
Ada Surat Ketetapan Pajak dalam Self Assessment Indonesia
Kemungkinan adanya kecurangan penghitungan pajak sebenarnya
sudah diantisipasi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan hal ini dapat kita telusuri dari ketentuan Pasal
12. Pada awalnya Pasal 12 Undang-Undang KUP mengatur bahwa setiap Wajib Pajak
membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.
Tetapi bukan berarti Direktur Jenderal Pajak sama sekali tidak akan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak. Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang KUP disebutkan
bahwa Surat Ketetapan Pajak tetap diterbitkan tetapi hanya terbatas pada Wajib
Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat
Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh
Wajib Pajak.
Adanya surat ketetapan pajak adalah corak dari official
assessment. Jadi sebenarnya masih ada unsur official assesment dalam self
assessment yang dianut dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia. Tentu saja
hal ini bukan menjadikan masalah, karena bagaimanapun sebuah sistem harus diterapkan
sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Dirasa Indonesia belum bisa menerapkan
self assessment murni maka masih dimungkinkan penerbitan surat ketetapan pajak.
Data Fiskal: Bukti + Keterangan Lain + Data + Informasi
Redaksi Pasal 12 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
Perubahan redaksi tersebut menjadikan ketentuan Pasal 12 menjadi tiga ayat.
Secara maknawi perubahan tersebut sama dengan ketentuan sebelumnya, bahkan
semakin membuat lebih jelas. Tetapi mengubah redaksi syarat diterbitkannya
surat ketetapan pajak, dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan surat ketetapan pajak
diterbitkan jika ditemukannya ‘data fiskal’ yang tidak dilaporkan oleh Wajib
Pajak. Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 menganti redaksinya
menjadi apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan ‘bukti’ jumlah pajak yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Istilah
‘bukti’ ini terus dipakai sampai dengan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sedangkan prosedur untuk menerbitkan surat ketetapan pajak
adalah dengan pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain. Dalam Penjelasan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP menjelasakan keterangan lain adalah data
konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain
berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan.
Istilah yang digunakan disini adalah ‘data konkret’ bukan ‘bukti’. Dalam
penerbitan surat ketetapan pajak, keterangan lain adalah sebuah benda harus ada
prosedurnya selain pemeriksaan. Prosedur tersebut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2011 dilakukan dengan verifikasi.
Disadari bahwa dalam sistem self assessment peranan data
sangat penting. Direktur Jenderal Pajak tidak bisa menerbitkan surat ketetapan
pajak tanpa adanya bukti (dalam hal ini adalah data fiskal). Sehingga dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 muncul pasal 35A yang mengatur agar setiap instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tetapi pemberian data dan
informasi tersebut harus memperhatikan ketentuan rahasia jabatan. Ketentuan
rahasia jabatan tersebut ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri
Keuangan untuk keperluan pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana
perpajakan.
Ketentuan Pasal 35A ini menggunakan istilah ‘data dan informasi
perpajakan’ yang tentu merupakan ‘bukti’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3) atau ‘keterangan lain’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang KUP, yang dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan surat
ketetapan pajak.
Pemberian dan Penghimpunan Data
Peraturan Pemerintah dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 35A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Menjadi Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2012 Tentang Pemberian Dan Penghimpunan Data Dan Informasi Yang Berkaitan
Dengan Perpajakan.
Dari penjelasan umum PP 31 Tahun 2012 diketahui tujuan
pemberian dan penghimpunan Data dan Informasi yang berkaitan dengan perpajakan
adalah untuk membangun data perpajakan sebagai dasar pengawasan untuk:
- meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak,
- meminimalkan
kontak antara aparatur perpajakan dengan Wajib Pajak, dan
- meningkatkan
profesionalisme bagi aparatur perpajakan maupun Wajib Pajak.
Dari ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 pengertian dan jenis data, bentuk
serta periode penyampaian dapat disajikan dalam tabel berikut ini.
Pengertian
|
Jenis Data dan Informasi
|
Bentuk
|
Periode
|
Data
dan informasi adalah kumpulan angka, huruf, kata, dan/atau citra, yang
bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau catatan serta keterangan
tertulis, yang dapat memberikan petunjuk mengenai penghasilan dan/atau
kekayaan/harta orang pribadi atau badan, termasuk kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas orang pribadi atau badan.
(Pasal
1 angka 2)
|
1.
Data dan Informasi yang berkaitan dengan
kekayaan atau harta yang dimiliki orang pribadi atau badan;
2.
Data dan Informasi yang berkaitan dengan
utang yang dimiliki orang pribadi atau badan;
3.
Data dan Informasi yang berkaitan dengan
penghasilan yang diperoleh atau diterima orang pribadi atau badan;
4.
Data dan Informasi yang berkaitan dengan
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang menjadi beban orang pribadi atau badan;
5.
Data dan Informasi yang berkaitan dengan
transaksi keuangan; dan
6.
Data dan Informasi yang berkaitan dengan
kegiatan ekonomi orang pribadi atau badan.
(Pasal
2 ayat (3))
|
harus
diberikan dalam bentuk elektronik, jika belum tersedia dalam bentuk
elektronik, rincian Data dan Informasi tersebut dapat diberikan dalam bentuk
non elektronik sampai batas waktu yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan
(Pasal
5 ayat (1), ayat (2))
|
paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun secara berkesinam-
bungan
(Pasal
4 ayat (2))
|
Sedangkan para pihak yang wajib memberikan data adalah
sebagai berikut.
Instansi Pemerintah
|
Lembaga
|
Asosiasi
|
Pihak Lain
|
1.
kementerian;
2.
lembaga pemerintah non kementerian;
3.
instansi pada Pemerintah Provinsi;
4.
instansi pada Pemerintah Kabupaten/Kota;
dan
5.
instansi pemerintah lainnya.
|
1.
instansi pemerintah lainnya.
2.
lembaga Tinggi Negara;
3.
lembaga pada Pemerintah Provinsi;
4.
lembaga pada Pemerintah Kabupaten/Kota;
5.
lembaga pemerintah lainnya; dan
6.
lembaga non pemerintah.
|
1.
Kamar dagang dan industri;
Himpunan bank-bank milik negara;
2.
Perhimpunan bank-bank umum nasional;
3.
Ikatan akuntan publik Indonesia;
4.
Asosiasi pengusaha Indonesia;
5.
Gabungan industri kendaraan bermotor
Indonesia;
6.
Himpunan pengusaha muda Indonesia;
7.
Ikatan konsultan pajak Indonesia;
8.
Gabungan pengusaha ekspor Indonesia; dan
9.
Asosiasi pengusaha ritel Indonesia.
|
ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan
|
Akan tetapi pelaksanaan PP 31 Tahun 2012 ini lama dan juga
tidak mudah. Pemberian data dan informasi tidak mudah karena Pasal 35A
UU KUP dan PP 31 Tahun 2012 tidak mengatur adanya sanksi bagi instansi yang
tidak memberikan data dan informasi. Tanpa sanksi peraturan hanya bersifat
normatif dan akan sulit dilaksanakan.
Berbeda dengan ketentuan pasal 35 yang apabila pihak ketiga
tidak memberikan data informasi dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) sebagaimana diatur Pasal 41A Undang-Undang KUP.
Karena Pasal 35 ayat (1) mengatur pihak ketiga yang harus memberikan keterangan
atau bukti dalam rangka pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan
tindak pidana dibidang perpajakan. Artinya penerapan sanksi Pasal 41A tidak
bisa untuk pelanggaran Pasal 35A. Memang disadari akan sulit mengenakan sanksi
pidana terhadap suatu institusi. Padahal, ketentuan tanpa adanya sanksi hanya
akan bersifat normatif dan akan sulit dijalankan.
Sebagai kementerian yang mencari dan mengelola keuangan
negara sebenarnya mengingat pentingnya pemberian data dan informasi guna
peningkatan penerimaan pajak bisa saja memberikan sanksi dengan mengaitkan
pencairan anggaran. Misalnya kepada instansi pemerintah yang menggunakan APBN
jika belum menyampaikan data dan informasi maka anggaran tahun berjalan ditahan
dan bisa dicairkan setelah menyampaikan data dan informasi perpajakan. Tetapi
pengaturan sanksi ini harus disebutkan dalam Undang-Undang KUP terlebih dahulu.
Contoh Kegiatan
Pengamatan dan Pencarian Data Potensi Perpajakan.
Karakteristik KPP Pratama berbeda dengan KPP Madya, dan KPP
Khusus (KPP LTO, dan KPP HWI). KPP Madya dan KPP Khusus mengelola wajib Pajak
yang besar dan menyelenggarakan pembukuan. Sebaliknya KPP Pratama lebih banyak
mengelola Wajib Pajak Badan yang relatif lebih kecil serta Orang Pribadi yang
biasanya belum menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan atau melaksanakan
pencatatan.
Sangat sulit mencari data perpajakan untuk orang pribadi
yang melakukan pencatatan padahal dalam kenyataan secara kasat mata Wajib Pajak
tersebut usahanya sangat maju. Akhirnya diputuskan untuk mencari data Wajib
Pajak Orang Pribadi yang berusaha di bidang kuliner. Alasannya, wisata kuliner
di Bandung sangat marak dan laris. Kemudian kami memutuskan fokus terhadap tiga
Wajib Pajak Orang Pribadi usaha kuliner paling ramai. Dalam tulisan ini hanya
satu Wajib Pajak yang kami bahas yaitu Wajib Pajak yang mempunyai usaha Bakmi.
Semua data dan informasi dicari mulai dari NPWP, SPT Tahunan, ijin usaha, dan
nama pemilik. Pencarian data juga dilakukan secara online. Banyak informasi,
tapi semua data tersebut tidak bisa digunakan sebagai bahan himbauan karena
tidak adanya data transaksi.
Kemudian kami mencoba pencarian data partisipatif. Kami
sepakat urunan untuk makan bersama di tempat usaha Wajib Pajak. Pada saat makan
itu kita bisa menghitung kapasitas meja dan tempat duduk. Dari omong-omong
ringan dengan pelayan, diketahui tiap hari rata-rata menghabiskan dua puluh
ekor ayam kampung dan tiap ekornya rata-rata menjadi dua puluh porsi. Artinya
satu hari rata-rata menjual empat ratus porsi makanan sehingga secara kasar
kita sudah bisa menghitung omsetnya karena daftar harga makanan tercantum dalam
daftar menu. Untuk minuman kami juga sudah bisa memperkirakannya, karena hampir
tidak mungkin orang yang makan tidak pesan minuman juga.
Kejutan lain, saat kami membayar. Ternyata Wajib Pajak
mengunakan tellstruk untuk mencatat pembayaran. Pintu terbuka, karena dalam
tellstruk tersebut tercatat nomor urut dan tanggalnya. Kemudian kami putuskan
lain kali untuk makan bersama lagi, selain karena makanannya memang enak juga
untuk melengkapi data kami inginkan. Setelah berapa kali makan bersama yang
juga dibayar bersama-sama, akhirnya kami mempunyai data pembayaran pada awal
bulan, tengah bulan, dan akhir bulan. Dengan variasi saat makan siang, makan
malam pada akhir minggu, dan malam Jum’at yang kami asumsikan malam paling
sepi. Data kami sudah lebih kongkrit karena berupa tellstruk penjualan yang
tertera identitas Wajib Pajak tanggal transaksi, nomor urut, jumah pembelian,
dan harganya.
Setelah data kami anggap cukup, konseling dilakukan dengan
mengolah data tellstruk yang kami punya secara rerata. Ternyata Wajib Pajak
mengakui bahwa omset penjualannya kurang lebih sama dengan hitungan kami.
Hasilnya, Wajib Pajak yang sebelumnya membayar PPh Pasal 25 sekitar Rp 120 ribu
dinaikkan menjadi Rp 1,2 juta. Naik sepuluh kali lipat atau 1000%.
Terkait dengan Seksi Ekstensifikasi Perpajakan yang tugas
utamanya adalah melakukan upaya proaktif dalam rangka pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, bisa dilakukan dengan
cara mengidentifikasi data pemilik, meliputi data NIK, NPWP, jumlah karyawan
dan lain-lain dan memasukkannya dalam Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE). Dari
Data tersebut akan dilakukan proses ekstensifikasi sebagaimana tercantum dalam PER-35/PJ/2013
tentang Tata Cara Ekstensifikasi, serta
SE- 51/PJ/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Ekstensifikasi.
Catatan Akhir Tahun 2013 dan Tinjauan Peraturan Tata Cara Ekstensifikasi
Sumber: http://www.bppk.depkeu.go.id/
Judul asli: DATA SEBAGAI BUKTI UNTUK MENETAPKAN PAJAK TERUTANG
Salam kenal dari pelaksana seksi Bimb Eksten Kanwil DJP Sumbar dan Jambi. Terima kasih atas share pengalamannya dlm penggalian potensi pajak ;)
ReplyDeletesalam kenal kembali... senang bisa berbagi pengalaman. #PajakMilikBersama. DJP Bisa!!!
Delete