Ketentuan Kewajiban Pencatatan Wajib Pajak Orang Pribadi Diperbarui



Catatan Ekstens
– Kementerian Keuangan mengubah ketentuan kewajiban melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 54/PMK.03/2021 tentang tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu serta tata cara menyelenggarakan pembukuan untuk tujuan perpajakan.

Beleid yang ditetapkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati tanggal 31 Mei 2021 ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Kriteria Tertentu sehingga tidak terjadi multitafsir di masa depan.

Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan
Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan


Ketentuan ini mencabut PMK-197/PMK.03/2007 tentang bentuk dan tata cara pencatatan bagi Wajib Pajak orang Pribadi. Dalam PMK-197/2007, ada 2 kategori Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikecualikan dari pembukuan yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang menggunakan NPPN (Norma Perhitungan Penghasilan Neto) dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Melalui PMK 54/PMK.03/2021, kategori Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi Kriteria Tertentu dimasukkan dalam pengecualian tersebut. Dengan demikian, terdapat 3 kategori Wajib Pajak Orang Pribadi yang diperbolehkan untuk melakukan pencatatan, yaitu:

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menghitung penghasilan netonya menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN);
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
  3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.

Perlu diketahui, yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Kriteria Tertentu adalah wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang usahanya dikenai PPh final atau bukan objek pajak dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak.

Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu, Pasal 5 ayat (2) PMK 54/2021 memperbolehkan untuk melakukan pencatatan tanpa menyampaikan pemberitahuan penggunaan NPPN.

Berbeda halnya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menghitung penghasilan netonya menggunakan NPPN. Wajib Pajak kategori ini harus menyampaikan pemberitahuan kepada DJP dalam jangka waktu 3 bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila wajib pajak yang akan menggunakan NPPN tidak menyampaikan pemberitahuan dalam jangka waktu 3 bulan, wajib pajak tersebut dianggap memilih menggunakan pembukuan.

Dalam PMK-54/2021, wajib pajak yang melakukan pencatatan harus memenuhi ketentuan bahwa pencatatan dilakukan:
  1. dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan;
  2. di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab dan satuan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  3. dalam suatu Tahun Pajak berupa jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember; dan
  4. secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto.

Pencatatan ini dapat dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi secara elektronik maupun non-elektronik.

Ketentuan yang mulai berlaku sejak 2 Juni 2021 ini juga menyebutkan, wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu Pasal 5 ayat (1) dapat melakukan pencatatan sejak awal tahun pajak berlakunya PMK 54/2021.

Sedangkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menghitung penghasilan netonya menggunakan NPPN, yang baru terdaftar sejak awal Tahun Pajak berlakunya PMK 54/2021 sampai dengan tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat menyampaikan pemberitahuan penggunaan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

Beda Pembukuan dan Pencatatan

Pada prinsipnya, setiap wajib pajak baik orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun badan diwajibkan melaksanakan pembukuan. Kewajiban pembukuan ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Namun ada beberapa kategori wajib pajak yang dikecualikan melaksanakan kewajiban pembukuan ini sebagaimana tersebut dalam penjelasan di atas. 

Pengecualian tersebut dilakukan berdasarkan prinsip kesederhanaan, terutama bagi pengusaha skala kecil dan menengah. Sebab, dari sebagian dari mereka umumnya tidak mengetahui adanya kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tidak memahami bagaimana menyelenggarakan pembukuan, atau tidak mempunyai karyawan yang berkompetensi dalam membuat pembukuan. Untuk itu, mereka hanya diwajibkan untuk melakukan pencatatan yang lebih sederhana dibanding pembukuan.

Pembukuan dan pencatatan merupakan salah satu kegiatan akuntansi perpajakan yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak terutang. Lalu, apa perbedaan di antara keduanya?

Menurut Pasal 1 ayat 29 UU KUP, pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Sedangkan pada Pasal 28 ayat 9 UU KUP menyebutkan, pencatatan merupakan pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Ketentuan Pembukuan dan Pencatatan

UU KUP mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dalam menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Wajib pajak yang melakukan pembukuan harus memenuhi ketentuan berikut:
  • diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
  • diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;
  • diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual (accrual basis) atau stelsel kas (cash basis);
  • Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan; dan
  • Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Prinsip taat asas merupakan prinsip yang sama yang digunakan dalam metode Pembukuan dengan Tahun Pajak-Tahun Pajak sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip ini dapat berupa stelsel pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan, atau metode penyusutan dan amortisasi. Perubahan terhadap metode pembukuan harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Laporan keuangan akrual basis adalah pencatatan pendapatan dan biaya pada periode saat terjadinya suatu transaksi, bukan pencatatan laporan keuangan saat pendapatan diterima ataupun dibayarkan seperti yang biasa ditemukan dalam laporan keuangan berbasis kas (cash basis).

Adapun bagi wajib pajak yang melakukan pencatatan, harus memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu:

1. pencatatan harus menggambarkan antara lain:
  • peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
  • penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final;
2. bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan; dan

3. selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, wajib pajak orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.

Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah

Wajib pajak diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 196/PMK.03/2007 yang telah diubah terakhir dengan PMK No. 123/PMK.03/2019, wajib pajak yang diperkenankan menggunakan Bahasa Inggris dan mata uang dolar AS adalah:

  1. wajib pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu wajib pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan PMA;
  2. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak/perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara;
  3. wajib pajak dalam rangka kontrak kerja sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
  4. bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan (PPh) atau menurut perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang terkait;
  5. wajib pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
  6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Lembaga independen yang melakukan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Otoritas Jasa Keuangan;
  7. wajib pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b UU PPh; atau
  8. wajib pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang dolar AS sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Termasuk dalam pengertian Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya adalah:
  • Wajib Pajak dalam rangka Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; dan
  • Wajib Pajak pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang merupakan perubahan dari Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang dalam kontrak atau perjanjiannya telah mengatur kewajiban penyelenggaraan pembukuan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat.

Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program on-line wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan wajib pajak badan.

Sanksi Tidak Memenuhi Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan
Sanksi administrasi ini di atur dalam pasal 13 ayat 1 huruf d UU KUP yaitu Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut ditagih dengan SKPKB ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :
  • 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
  • 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
  • 100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.

2. Sanksi Pidana

Sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 UU KUP yang mengatakan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja:
  • Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; atau
  • Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; atau
  • Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan (Pasal 39 ayat 2 UU KUP). 

(HP)

Referensi: 

About Catatan Ekstens

Catatan Ekstens adalah blog pajak yang menjadi media kami dalam memperbarui pengetahuan perpajakan. Anggap saja setiap postingan pada blog ini sebagai catatan kami. Selengkapnya bisa cek "About" di bagian atas blog ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya