Jalan Reformasi Perpajakan Melalui Penataan Organisasi DJP

Jalan reformasi perpajakan melalui penataan organisasi DJP menemui babak baru usai Menteri Keuangan meresmikan organisasi dan tata kerja baru DJP di Jakarta (Senin, 24/5/2021). (foto: Dokumentasi DJP).

Catatan Ekstens
- Reformasi Perpajakan terus bergulir. Kebutuhan untuk mengadaptasi setiap perubahan baik dari internal maupun eksternal mau tidak mau membuat DJP terus berbenah. 5 pilar reformasi perpajakan yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, serta peraturan perundang-undangan terus diperbaiki. Perbaikan 5 pilar ini diharapkan mampu untuk mendeteksi potensi pajak yang ada serta merealisasikannya menjadi penerimaan pajak secara efektif dan efisien. 

Reformasi perpajakan bertujuan untuk mewujudkan kepatuhan pajak yang tinggi, peningkatan tax ratio, sinergi antar lembaga baik internal maupun eksternal, serta meniciptakan institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. 

Kabar teranyar, Menkeu Sri Mulyani meresmikan perubahan organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Senin, 24 Mei 2021 di Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat DJP, Jakarta.

Baca juga: 

Banyak proses yang dilalui DJP untuk sampai pada tahap merubah organisasi ini. Pidato presiden Joko Widodo bertajuk Visi Indonesia pada 14 Juli 2019 mengungkap 5 gagasan utama yang ingin dicapai dalam 5 tahun mendatang. Kelima hal itu adalah melanjutkan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, mendorong investasi, mereformasi birokrasi, dan membuat APBN lebih tepat guna. 

Dua fungsi pajak bisa dilekatkan dalam mewujudkan visi itu. Pertama, fungsi mengatur. Pajak dijadikan kebijakan untuk memobilisasi ekonomi. Salah satu yang paling terasa adalah dengan adanya program insentif bagi wajib pajak yang terdampak Covid-19. Insentif membantu dunia usaha untuk menjaga cashflow-nya. Dengan cashflow yang terjaga, dunia usaha dapat segera memulihkan perekonomian.

Contoh lainnya adalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Ini berarti sebagian pajak yang harusnya dengan tarif lama itu dapat dikumpulkan untuk negara, dikembalikan lagi ke wajib pajak untuk membantu bisnisnya sehingga ekonomi dapat bergerak. Hal ini berlaku juga untuk penurunan atau pembebasan tarif PPh dividen.

Diharapkan nantinya basis pajak baru akan muncul. Apalagi, untuk industri padat karya, tentu ada potensi peningkatan jumlah orang yang bekerja di tempat baru tersebut, sehingga ada basis pajak baru untuk PPh Pasal 21. Ujungnya, ada konsumsi yang akan meningkat sehingga berimbas positif untuk PPN.

Fungsi kedua adalah sebagai sumber penerimaan negara. Semua gagasan presiden itu tentu saja akan berjalan jika negara memiliki dana. Sumber pendanaan terbesar saat ini dalam APBN berasal dari pajak. Dengan kontribusi sekitar 70% dalam penerimaan APBN, tugas mengumpulkan pajak tak mungkin dikerjakan oleh DJP sendirian. DJP butuh dukungan dan sinergi dengan berbagai pihak.

Dengan sistem perpajakan self assesment yang dianut Indonesia, maka meningkatkan kepatuhan sukarela menjadi poin penting untuk optimalisasi penerimaan pajak. Caranya dengan edukasi perpajakan yang berkelanjutan, meningkatkan pelayanan, dan pengawasan kepada wajib pajak.

Edukasi Perpajakan

Untuk mengedukasi ini, DJP membentuk kelompok jabatan fungsional penyuluh dan asisten penyuluh pajak. Merujuk Permenpan RB nomor 49/2020 dan Permenpan RB nomor 50/2020, tugas pejabat fungsional baru di DJP ini untuk melaksanakan kegiatan Penyuluhan dan pengembangan Penyuluhan di bidang perpajakan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perpajakan, serta mengubah perilaku masyarakat wajib pajak agar semakin paham, sadar, dan peduli dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Sasaran edukasi perpajakan ini dilakukan berjenjang dan berkelanjutan, sejak masih sekolah (pajak bertutur, Tax Goes To Campus, dan lain-lain) hingga yang sudah memiliki penghasilan (kelas pajak, BDS, dan lain-lain).

Singkatnya, kehadiran para penyuluh pajak ini untuk membuat wajib pajak memahami bahwa pajak adalah bagian kebutuhan bernegara.

Digitalisasi Pelayanan Perpajakan

Dari sisi pelayanan, DJP melakukan perubahan dalam proses bisnisnya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Semua layanan perpajakan mengarah ke digital. Program digitalisasi DJP ini disebut Click, Call, Counter (3C). Kemudahan pelayanan ini bermanfaat untuk menurunkan biaya kepatuhan.

Selain itu, dengan digitalisasi ini masyarakat semakin dimudahkan dalam memenuhi hak dan kewajiban pajaknya. Misalnya untuk mendapatkan informasi, masyarakat dapat mengunjungi situs resmi DJP (www.pajak.go.id), maka semua informasi perpajakan tersedia di sana. Proses pendaftaran NPWP Online, Aktivasi EFIN, pembayaran pajak dengan e-billing, hingga pelaporan SPT secara elektronik disediakan lengkap di www.pajak.go.id.

Jika masih ada hal yang ingin ditanyakan, masyarakat bisa menghubungi kring pajak 1500200, baik melalui twitter @kring_pajak, telepon, email, atau chat. Tak ketinggalan, setiap unit vertikal DJP pun telah menyediakan layanan konsultasi melalui chat ini dengan menyediakan nomor WhatsApp KPP atau melalui media sosialnya. 

Pengawasan Wajib Pajak

Sedangkan dalam bidang pengawasan, DJP menggandeng Instansi, Lembaga, Assosiasi, dan Pihak Lainnya untuk memberikan data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengoptimalisasi pajak. DJP membangun core tax administration system, yaitu sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP, termasuk automasi proses bisnis.

Adapun proses bisnis yang akan diotomatisasi mulai dari proses pendaftaran wajib pajak, pemrosesan surat pemberitahuan dan dokumen perpajakan lainnya, pemrosesan pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi taxpayer accounting.

Ketentuan lebih terperinci tentang pengembangan core tax administration system diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2018. Merujuk pada Perpres tersebut, pengembangan core tax system merupakan salah satu bagian dari pembaruan sistem administrasi perpajakan.

Core tax  system ini salah satunya dimanfaatkan untuk membantu menguji data yang disampaikan wajib pajak dalam SPT-nya. Jika ada yang tidak sesuai dengan data yang dimiliki DJP, Kantor Pajak akan meminta penjelasan wajib pajak atau mengimbau wajib melakukan pembetulan SPT yang telah dilaporkan ke DJP. 

Penataan Organisasi

Selain itu, DJP mengubah organisasi dan tata kerja instansi vertikalnya. Hingga tahun 2020, sebesar 80%-85% target penerimaan pajak diadministrasikan oleh KPP-KPP di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus serta KPP Madya, sementara sisanya diadministrasikan oleh seluruh KPP Pratama.

Fakta ini menjadi dasar dilakukannya penataan organisasi di lingkungan instansi vertikal DJP. Penataan organisasi sendiri memiliki maksud untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui penyelenggaraan administrasi perpajakan yang lebih efisien, efektif, berintegritas, dan berkeadilan, serta untuk mewujudkan organisasi yang andal.

Awalnya, DJP mengajukan usulan penataan organisasi ini pada Desember 2019. Usulan itu kemudian dibahas di Kementerian Keuangan pada awal Januari 2020. Menteri Keuangan lalu mengusulkan hasil yang telah dimatangkan tersebut kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) pada minggu kedua Januari 2020.

Seraya menunggu proses yang berjalan di Kemenpan RB, DJP menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-75/PJ/2020 tentang Penetapan Perubahan Tugas dan Fungsi Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Beleid yang ditandatangani Suryo Utomo tanggal 20 Februari 2020 ini berisi perubahan tugas dan fungsi (tusi) pada KPP Pratama, yaitu mengubah tusi pada Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI), Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon) II, Seksi Waskon III, serta Seksi Waskon IV.

Perubahan tugas dan fungsi KPP Pratama ini sebagai bagian dari rencana strategis DJP 2020-2024 untuk meningkatkan efektivitas pengawasan kepatuhan pajak. Perubahan tugas dan fungsi KPP Pratama lebih ditujukan untuk memperluas basis perpajakan yang menjadi misi utama DJP mulai tahun 2020 dalam rangka menggenjot penerimaan pajak.

Melalui PER-75/PJ/2020, DJP melaksanakan strategi baru, yakni pengawasan wajib pajak berbasis segmentasi dan berbasis kewilayahan. Pengawasan berbasis segmentasi dilakukan terhadap wajib pajak strategis, yakni wajib pajak dengan porsi pembayaran yang besar di setiap KPP Pratama.

Secara keseluruhan yang dimaksud dengan wajib pajak strategis adalah seluruh wajib pajak yang terdaftar di KPP di Kanwil DJP WP Besar, KPP di Kanwil DJP Jakarta Khusus, KPP Madya, dan lima ratus wajib pajak besar di setiap KPP Pratama yang memberikan kontribusi sebesar 80% atas penerimaan pajak di masing-masing KPP Pratama.

Pengawasan wajib pajak strategis ini dilakukan oleh Account Representative (AR) pada Seksi Waskon II, sedangkan AR pada Seksi Waskon III dan Waskon IV, serta Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, difokuskan untuk melakukan penggalian potensi serta melakukan penguasan wilayah secara menyeluruh atas wajib pajak lainnya. 

Dengan demikian, fungsi ekstensifikasi yang tadinya hanya ada di satu seksi, kini berada di tiga atau empat seksi pada setiap KPP Pratama. Selain itu,  ekstensifikasi dilakukan dengan pembagian dan penguasaan wilayah yang difokuskan pada subjek dan objek pajak, serta kegiatan ekonomi di wilayah kerjanya masing-masing. Sementara fungsi penyuluhan, kini dilakukan oleh pejabat fungsional penyuluh. 

Pada 18 November 2020 lalu, Menteri Keuangan menetapkan aturan terbaru mengenai Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2020. Penataan organisasi ini memiliki dampak yang besar bagi DJP, di antaranya yaitu perubahan struktur organisasi unit vertikal, perubahan komposisi unit vertikal, konversi KPP Pratama menjadi KPP Madya, penyesuaian nomenklatur Kanwil DJP, KPP, dan KP2KP, serta penyesuaian wilayah kerja KPP dan KP2KP.

Dengan adanya penataan organisasi ini, dibentuklah 18 KPP Madya baru sehingga total saat ini ada 38 KPP Madya di seluruh Indonesia. Pembentukan KPP Madya baru tersebut dilakukan dengan mengonversi salah satu KPP Pratama. Khusus untuk Kanwil DJP yang memiliki potensi penerimaannya besar dimungkinkan memiliki dua KPP Madya. Di antaranya adalah Kanwil DJP di wilayah DKI Jakarta, Kanwil DJP Sumatera Utara I, Kanwil DJP Banten, Kanwil DJP Jawa Barat I, Kanwil DJP Jawa Tengah I, dan Kanwil DJP Jawa Timur I.

Selanjutnya KPP Pratama diarahkan untuk lebih fokus pada penguasaan wilayah, berupa penguasaan informasi, pendataan, dan pemetaan subjek dan objek pajak, melalui produksi data, pengawasan formal dan material SPT Masa, dan SPT Tahunan. 

Hal ini tercermin dari struktur organisasi terbaru KPP Pratama, yaitu bertransformasinya Seksi Waskon menjadi Seksi Pengawasan, Seksi Pengolahan Data dan Informasi menjadi Seksi Penjaminan Kualitas Data, serta meleburnya Seksi Penagihan dan Seksi Pemeriksaan menjadi Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan. 

Melalui PMK-184/PMK.01/2020 ini, pengawasan berbasis segmentasi yang sebelumnya dilaksanakan oleh Seksi Waskon II bergeser kepada Seksi Pengawasan I, sementara pengawasan berbasis kewilayahan yang sebelumnya dilaksanakan oleh Seksi Waskon III, Seksi Waskon IV, dan Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan bergeser kepada Seksi Pengawasan II hingga Seksi Pengawasan VI. 

Hal lain yang menjadi dampak dari penataan organisasi adalah stratifikasi KPP Pratama, yaitu pengelompokan KPP berdasarkan struktur organisasinya. Berdasarkan Pasal 59A PMK-184/ PMK.01/2020, KPP Pratama dibagi menjadi dua kelompok, KPP Pratama Kelompok I dan KPP Pratama Kelompok II. 

KPP Pratama Kelompok I memiliki sepuluh seksi, yaitu enam Seksi Pengawasan, satu Seksi Penjaminan Kualitas Data, satu Seksi Pelayanan, satu Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan, dan satu Subbagian Umum & Kepatuhan Internal. Sementara KPP Pratama Kelompok II memiliki sembilan seksi, yaitu lima Seksi Pengawasan, satu Seksi Penjaminan Kualitas Data, satu Seksi Pelayanan, satu Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan, serta satu Subbagian Umum & Kepatuhan Internal.

Proses reformasi perpajakan di DJP akan terus berjalan seiring perkembangan zaman. DJP tentu saja berharap besar akan terjadi peningkatan kepatuhan wajib pajak (tax compliance) dan rasio pajak (tax ratio) yang selama ini masih cukup sulit dioptimalkan. Jika ini dapat segera terealisasi, maka visi Indonesia maju tentu akan lebih mudah direalisasikan. Pajak Kuat, Indonesia Maju. (HP*)

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Sumber: DDTC, Intax, Kontan, pajak.go.id

About Catatan Ekstens

Catatan Ekstens adalah blog pajak yang menjadi media kami dalam memperbarui pengetahuan perpajakan. Anggap saja setiap postingan pada blog ini sebagai catatan kami. Selengkapnya bisa cek "About" di bagian atas blog ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Setiap komentar akan ditinjau terlebih dahulu. Pemilik blog berhak untuk memuat, tidak memuat, mengedit, dan/atau menghapus comment yang disampaikan oleh pembaca. Anda disarankan untuk memahami persyaratan yang ditetapkan pemilik blog ini. Jika tidak menyetujuinya, Anda disarankan untuk tidak menggunakan situs ini. Cek "disclaimer" untuk selengkapnya